Harga bahan bakar minyak (BBM), khususnya jenis Pertalite (yang kini sebagian besar telah digantikan oleh Pertamax Green 98 atau sejenisnya, namun konteks historis Pertalite tetap relevan), selalu menjadi isu krusial dalam perekonomian Indonesia. Fluktuasi harga BBM, terutama yang disubsidi seperti Pertalite dulunya, memiliki efek domino yang luas terhadap biaya hidup, inflasi, dan daya beli masyarakat. Artikel ini akan mengulas kembali periode ketika harga Pertalite masih berada di level yang lebih terjangkau sebelum adanya penyesuaian harga signifikan.
Bagi banyak pemilik kendaraan bermotor roda dua maupun roda empat kelompok tertentu, Pertalite adalah pilihan utama karena selisih harga yang cukup signifikan dibandingkan BBM non-subsidi seperti Pertamax. Harga yang ditetapkan pemerintah saat itu mencerminkan komitmen untuk menjaga stabilitas ekonomi masyarakat menengah ke bawah.
Ilustrasi perbandingan harga BBM di masa lalu.
Ketika harga Pertalite masih rendah, hal ini memberikan ruang bernapas bagi banyak rumah tangga. Perhitungan biaya transportasi harian menjadi lebih mudah diprediksi. Pengemudi tidak perlu terlalu sering melakukan penyesuaian anggaran belanja bulanan hanya karena kenaikan harga energi. Harga Pertalite sebelum kenaikan besar terakhir sering kali menjadi patokan penting bagi pedagang kecil dan pengemudi ojek online dalam menentukan tarif operasional mereka.
Secara umum, harga BBM bersubsidi yang stabil memberikan rasa kepastian ekonomi. Kenaikan harga BBM, meskipun kadang dianggap perlu oleh pemerintah untuk menekan beban subsidi fiskal, hampir selalu diikuti oleh lonjakan harga barang-barang kebutuhan pokok lainnya. Ini terjadi karena biaya logistik dan distribusi ikut meningkat, memicu inflasi yang dirasakan langsung oleh konsumen.
Untuk memberikan konteks yang lebih jelas mengenai arti penting harga Pertalite sebelum naik, penting untuk mengingat angka historisnya. Meskipun angka pasti sering berubah sesuai kebijakan pemerintah saat itu, fluktuasi terjadi dalam rentang yang relatif sempit sebelum terjadi perubahan kebijakan yang signifikan.
Berikut adalah gambaran umum mengenai perbandingan harga yang sering menjadi perbincangan publik saat itu (nilai ini bersifat ilustratif dan merepresentasikan titik harga sebelum terjadi lonjakan besar yang bersifat kebijakan):
Perbedaan antara harga subsidi (Pertalite) dan harga pasar murni sangat besar. Inilah yang membuat BBM bersubsidi menjadi magnet dan seringkali menjadi fokus pengawasan agar penyalurannya tepat sasaran sesuai ketentuan yang berlaku. Masyarakat yang merasakan dampak langsung dari harga yang lebih rendah biasanya adalah mereka yang menggunakan kendaraan untuk mobilitas harian esensial, bukan kendaraan mewah.
Indonesia sangat bergantung pada transportasi darat untuk distribusi barang dan jasa. Ketika biaya operasional transportasi naik akibat harga BBM yang tinggi, dampaknya langsung merambat ke seluruh rantai pasok. Harga cabai di pasar, biaya kirim paket, hingga harga tiket transportasi umum semuanya berpotensi mengalami kenaikan. Oleh karena itu, menjaga stabilitas harga BBM bersubsidi merupakan salah satu instrumen kebijakan makroekonomi yang sensitif.
Mengingat kembali harga Pertalite sebelum naik membantu kita mengapresiasi upaya pemerintah dalam menjaga daya beli masyarakat, sekaligus menjadi pengingat akan tantangan fiskal yang dihadapi negara dalam mempertahankan subsidi energi yang besar. Meskipun kini skema subsidi mungkin telah bergeser ke jenis BBM lain atau skema bantuan yang lebih terarah, memori harga lama tetap relevan dalam analisis ekonomi rumah tangga.
Kesimpulannya, harga energi adalah urat nadi perekonomian. Harga yang terjangkau, seperti yang pernah dinikmati konsumen dengan Pertalite di masa lalu, memberikan stabilitas sementara yang sangat berharga bagi jutaan masyarakat Indonesia dalam menjalankan aktivitas ekonomi sehari-hari.