Kalimantan, pulau yang kaya akan keanekaragaman hayati, juga menyimpan kekayaan budaya yang luar biasa, salah satunya termanifestasi dalam bahasa-bahasa daerahnya. Seringkali disederhanakan menjadi "Bahasa Dayak," sesungguhnya yang kita maksud adalah rumpun besar bahasa yang dituturkan oleh suku-suku Dayak yang tersebar di berbagai wilayah di Kalimantan. Rumpun bahasa ini tergolong dalam rumpun bahasa Austronesia, namun memiliki perbedaan signifikan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya.
Keragaman ini menunjukkan sejarah migrasi dan isolasi geografis yang panjang. Misalnya, Bahasa Dayak Kenyah yang dominan di Kaltim memiliki kekhasan tersendiri dibandingkan dengan Bahasa Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah, atau Bahasa Iban di Sarawak (Malaysia) yang serumpun erat dengan beberapa dialek di Kalimantan Barat. Mempelajari contoh bahasa Dayak bukan sekadar menghafal kosakata, tetapi menyelami pola pikir dan pandangan dunia masyarakat adat Kalimantan.
Meskipun variasinya banyak, beberapa pola dasar dapat ditemukan. Fonologi (sistem bunyi) Bahasa Dayak seringkali lebih kaya dalam vokal dan beberapa konsonan yang mungkin tidak ada dalam Bahasa Indonesia standar. Tata bahasanya cenderung lebih fleksibel dalam urutan kata dibandingkan bahasa Melayu.
Untuk memberikan gambaran nyata, berikut adalah beberapa contoh bahasa Dayak yang sering dirujuk, khususnya dari rumpun Ot Danum atau Ngaju yang cukup dikenal:
Indonesia: Selamat pagi/siang/sore
Dayak Ngaju: Handak bajap bara (Secara harfiah: Mau bicara dari...) atau sekadar Puji Tuhan (Pengaruh kristen).
Dayak Kayan/Kenyah: Ka'au (Halo/Salam)
Saya: Aku atau Ie (tergantung dialek)
Kamu: Antu atau Kam
Dia: Dija
Satu: Isa (Mirip dengan beberapa bahasa Filipina)
Dua: Dua
Tiga: Telu
Empat: Ampat
Lima: Limak
Salah satu cara termudah untuk melihat betapa beragamnya bahasa Dayak adalah dengan membandingkan satu kata kunci di berbagai wilayah. Kata "Air" adalah contoh klasik.
Fakta bahwa beberapa kata dalam Bahasa Dayak memiliki kemiripan dengan bahasa Austronesia lain di Asia Tenggara (seperti kata 'Isa' untuk satu) menunjukkan akar sejarah linguistik yang sama, meskipun jalur evolusi mereka berbeda selama berabad-abad. Para ahli bahasa mengklasifikasikan kerumitan ini, seringkali membaginya menjadi cabang-cabang besar seperti Barito, Apo Duat, dan Kayan-Kenyah-Kutai.
Bahasa Dayak tidak hanya berfungsi sebagai alat komunikasi sehari-hari, tetapi juga sebagai wadah pelestarian tradisi lisan. Cerita rakyat, mantra pengobatan, lagu-lagu ritual (seperti Tiwah atau upacara kematian), dan syair adat hanya dapat dipahami sepenuhnya dalam konteks bahasa aslinya. Misalnya, dalam tradisi Mampam (ritual pemanggilan arwah), diksi dan intonasi bahasa adat memegang peranan sakral yang tidak bisa digantikan oleh terjemahan langsung ke Bahasa Indonesia.
Upaya pelestarian terus dilakukan oleh komunitas lokal dan pegiat budaya. Dokumentasi kini semakin gencar dilakukan melalui kamus digital dan rekaman audio. Memahami contoh bahasa Dayak adalah langkah awal untuk menghargai warisan intelektual masyarakat adat Kalimantan yang kaya dan kompleks. Meskipun tantangan globalisasi dan dominasi bahasa nasional tetap ada, semangat untuk menjaga kekayaan linguistik ini terus menyala di jantung hutan Borneo.