Kalimantan, pulau yang sering dijuluki "Pulau Seribu Sungai," adalah rumah bagi komunitas adat Dayak yang kaya dan beragam. Salah satu pilar utama yang menopang identitas dan warisan mereka adalah **bahasa suku Dayak**. Jauh dari sekadar alat komunikasi sehari-hari, bahasa-bahasa ini adalah gudang sejarah lisan, filosofi hidup, serta cara pandang unik masyarakat Dayak terhadap alam semesta.
Meskipun seringkali disederhanakan sebagai satu entitas tunggal, realitas linguistik Dayak jauh lebih kompleks. Para ahli linguistik memperkirakan terdapat lebih dari 40 hingga 60 bahasa yang berbeda yang dituturkan oleh berbagai sub-suku Dayak, mulai dari Dayak Iban, Dayak Ngaju, Dayak Kayan, Dayak Ot Danum, Dayak Punan, hingga Dayak Bidayuh, dan banyak lagi. Bahasa-bahasa ini umumnya dikelompokkan dalam rumpun bahasa Melayu-Polinesia Barat, namun perbedaan di antara mereka seringkali signifikan, layaknya perbedaan antara bahasa Roman (Italia dan Spanyol, misalnya).
Salah satu aspek paling menonjol dari bahasa suku Dayak adalah keragamannya. Sebagai contoh, bahasa Dayak Ngaju yang dominan di Kalimantan Tengah memiliki struktur tata bahasa dan kosakata yang berbeda jauh dengan Bahasa Basap di Kalimantan Timur. Perbedaan ini sering kali dipengaruhi oleh geografi dan isolasi historis. Ketika suatu kelompok bermigrasi ke pedalaman hulu sungai atau ke dataran yang berbeda, bahasa mereka akan berkembang secara independen, mengadopsi kata-kata lokal untuk flora, fauna, dan praktik adat setempat.
Sebagai ilustrasi, kata untuk "air" mungkin berbeda; di satu dialek adalah 'wai', sementara di dialek lain mungkin menggunakan bentuk yang lebih mendekati 'amun' atau variasi lainnya. Keanekaragaman ini menunjukkan betapa dalamnya hubungan antara masyarakat Dayak dengan lingkungan fisik mereka; bahasa mereka adalah cerminan detail ekologi tempat mereka tinggal.
Memahami bahasa suku Dayak juga berarti menyelami filosofi hidup mereka. Konsep-konsep spiritual dan sosial seringkali memiliki padanan kata yang kaya dan sulit diterjemahkan secara langsung ke dalam Bahasa Indonesia atau bahasa asing. Misalnya, konsep 'Belom' dalam beberapa dialek Dayak tidak hanya berarti hutan, tetapi juga merujuk pada alam raya yang sakral, tempat bersemayamnya roh leluhur dan penjaga alam.
Terminologi yang digunakan dalam ritual adat, penamaan totem (burung enggang atau harimau), serta struktur kekerabatan (seperti istilah untuk kepala suku atau pemimpin spiritual) menyimpan makna historis dan hierarkis yang mendalam. Hilangnya penutur asli atau minimnya transmisi bahasa kepada generasi muda berarti hilangnya bukan hanya kosa kata, melainkan juga sistem pengetahuan tradisional yang terenkapsulasi di dalamnya. Upaya pelestarian bahasa menjadi krusial untuk menjaga integritas budaya Dayak secara keseluruhan.
Saat ini, mayoritas bahasa suku Dayak menghadapi ancaman kepunahan. Dominasi bahasa nasional (Bahasa Indonesia) dalam pendidikan formal, media, dan pemerintahan, ditambah dengan urbanisasi, telah menyebabkan pergeseran bahasa yang signifikan. Banyak anak muda Dayak yang kini lebih fasih berbahasa Indonesia atau bahkan bahasa Melayu Pontianak/Banjarmasin dibandingkan bahasa leluhur mereka sendiri.
Para akademisi, tokoh adat, dan pegiat budaya terus berupaya mendokumentasikan dan merevitalisasi bahasa-bahasa ini. Proyek kamus dwibahasa, pengajaran bahasa daerah di tingkat sekolah lokal, dan pemanfaatan media digital menjadi strategi kunci. Pelestarian **bahasa suku Dayak** adalah upaya menjaga kekayaan linguistik Indonesia, sekaligus menghormati identitas dan kearifan lokal yang telah teruji oleh waktu. Bahasa adalah denyut nadi kebudayaan; selama bahasanya hidup, semangat Dayak akan terus berkobar di jantung Kalimantan.