Di tengah keberagaman bahasa dan budaya di Indonesia, bahasa Makassar, sebagai salah satu bahasa besar dari Sulawesi Selatan, sering kali menjadi subjek diskusi menarik, terutama mengenai stereotip yang melekat. Salah satu stigma yang cukup sering terdengar, meski mungkin tidak selalu diucapkan secara terang-terangan, adalah anggapan bahwa penutur bahasa Makassar cenderung "pelit" atau sangat berhati-hati dalam mengeluarkan kata-kata, terutama dalam konteks keramahan atau pembicaraan santai.
Stigma "bahasa Makassar pelit" ini perlu dikaji lebih dalam, bukan sebagai kritik terhadap sifat dasar masyarakatnya, melainkan sebagai cerminan dari norma komunikasi yang unik dalam budaya Bugis-Makassar. Dalam banyak kebudayaan timur, termasuk di Nusantara, efisiensi dalam bertutur sering kali dianggap sebagai tanda kebijaksanaan dan penghormatan terhadap waktu.
Efisiensi Linguistik dan Norma Kesopanan
Salah satu faktor yang mungkin berkontribusi pada persepsi ini adalah struktur dan gaya komunikasi dalam bahasa Makassar itu sendiri. Bahasa ini, seperti banyak bahasa daerah lainnya, sangat menghargai konteks. Jawaban yang singkat, lugas, dan langsung pada intinya sering kali tidak diartikan sebagai ketidaksopanan, melainkan sebagai bentuk ketulusan dan menghindari basa-basi yang dianggap tidak perlu. Berbeda dengan budaya yang mengedepankan ekspresi verbal yang panjang untuk menunjukkan keramahan, di Makassar, tindakan nyata sering kali berbicara lebih keras daripada kata-kata.
Ketika seseorang baru mengenal budaya atau bahasa ini, keengganan penutur asli untuk terlibat dalam obrolan ringan yang panjang bisa disalahartikan sebagai sikap tertutup atau, dalam kasus ekstrem, "pelit" dalam berbagi kata. Padahal, bagi mereka, kata-kata yang diucapkan adalah hal yang berharga dan harus digunakan dengan bijak. Ini adalah bentuk penghormatan terhadap nilai keseriusan dan integritas.
Peran Konteks Sosial dan Hierarki
Budaya Makassar sangat menjunjung tinggi hierarki sosial dan rasa hormat, terutama kepada yang lebih tua atau memiliki kedudukan lebih tinggi. Dalam interaksi formal atau semi-formal, penggunaan bahasa akan sangat terkontrol. Pengucapan yang hemat dan terukur memastikan bahwa setiap kata memiliki bobot dan tidak terkesan meremehkan lawan bicara. Jika seseorang memberikan jawaban yang sangat singkat, itu bisa jadi merupakan strategi komunikasi untuk menjaga jarak hormat, bukan karena enggan berbicara.
Persepsi "pelit" ini juga dapat muncul dalam konteks tawar-menawar atau transaksi bisnis. Masyarakat Makassar dikenal memiliki semangat kewirausahaan yang kuat. Dalam negosiasi, ketegasan dan ketelitian dalam setiap penawaran harga adalah standar. Apa yang dilihat oleh pihak luar sebagai kekakuan atau keengganan untuk "memberi kelonggaran" dalam pembicaraan, bagi mereka adalah bagian dari etos kerja dan manajemen sumber daya yang efisien. Ini bukan tentang menahan kata, melainkan tentang memastikan bahwa setiap kata memiliki nilai finansial atau substantif yang jelas.
Pergeseran dan Pemahaman Lintas Budaya
Seiring dengan mobilitas sosial dan interaksi lintas budaya yang semakin intens, pemahaman terhadap stereotip ini mulai terkikis. Generasi muda penutur bahasa Makassar yang lebih banyak berinteraksi di lingkungan urban mungkin menunjukkan gaya komunikasi yang lebih luwes dan terbuka. Namun, inti dari etos komunikasi lama tetap menjadi fondasi.
Intinya, anggapan bahwa bahasa Makassar itu "pelit" adalah penyederhanaan yang mengabaikan kompleksitas budaya. Bahasa bukanlah sekadar alat untuk bertukar informasi, melainkan wadah nilai-nilai yang dipegang teguh oleh suatu masyarakat. Bahasa Makassar mengajarkan bahwa ketulusan tidak selalu diukur dari banyaknya kata yang terucap, tetapi dari kualitas dan ketepatan waktu kata tersebut diucapkan. Memahami keheningan atau jawaban singkat dalam konteks budaya Makassar berarti menghargai kearifan lokal yang mengutamakan substansi di atas kuantitas komunikasi.