Setiap orang berhak untuk berkomunikasi. Komunikasi adalah jembatan utama yang menghubungkan kita dengan dunia, berbagi ide, perasaan, dan kebutuhan. Namun, bagaimana jika jembatan itu tiba-tiba runtuh karena perbedaan bahasa? Sebuah frasa yang sering kita ucapkan secara tidak sengaja ketika berhadapan dengan komunitas Tuli adalah: "Bahasa isyarat saya tidak tahu."
Pengakuan ini, meskipun jujur, sering kali meninggalkan kekecewaan dan isolasi bagi lawan bicara kita. Kita menyadari bahwa ada dunia komunikasi yang selama ini tersembunyi dari pandangan kita. Bagi sebagian besar masyarakat, bahasa isyarat (seperti BISINDO di Indonesia atau ASL di Amerika) hanyalah sebuah konsep abstrak, bukan sebuah sistem linguistik yang kaya dan kompleks.
Ilustrasi: Hambatan komunikasi dan upaya menjembatani pemahaman.
Fenomena "bahasa isyarat saya tidak tahu" adalah cerminan dari sistem pendidikan dan sosial yang belum sepenuhnya inklusif. Bahasa isyarat bukanlah bahasa universal; setiap negara, bahkan wilayah, bisa memiliki variasi atau sistem yang berbeda. Karena kurangnya paparan di sekolah, media, atau lingkungan sehari-hari, bahasa ini tetap menjadi ranah spesialis.
Bagi orang Tuli, ketergantungan pada bahasa lisan sering kali tidak memungkinkan. Mereka membutuhkan sarana komunikasi yang setara. Ketika kita mengatakan tidak tahu, kita secara tidak langsung memaksa mereka untuk beradaptasi sepenuhnya dengan cara kita—yaitu dengan mengandalkan tulisan, gerakan bibir yang sulit dibaca, atau teknologi bantuan.
Mengakui "saya tidak tahu" adalah langkah awal yang jujur. Namun, tanggung jawab kita tidak berhenti di sana. Langkah selanjutnya adalah menunjukkan niat untuk belajar dan beradaptasi. Komunitas Tuli sangat menghargai usaha, bahkan jika gerakan Anda kaku dan salah.
Berikut adalah beberapa strategi praktis yang dapat Anda terapkan ketika Anda menyadari batasan komunikasi:
Bahasa isyarat bukanlah sekadar gestur; ini adalah bahasa visual yang melibatkan ekspresi wajah (non-manual markers) dan gerakan tubuh yang presisi. Bahasa ini memiliki tata bahasa dan sintaksisnya sendiri yang berbeda dari bahasa lisan mana pun. Ketika kita mulai belajar, kita tidak hanya membuka pintu komunikasi dengan individu Tuli, tetapi kita juga membuka pikiran kita terhadap cara berpikir yang berbeda dalam memproses informasi spasial dan visual.
Memahami bahwa "bahasa isyarat saya tidak tahu" dapat menjadi sebuah hambatan adalah momen refleksi. Inklusi sejati terjadi ketika kedua belah pihak berupaya mencapai titik temu. Jika kita ingin menjalin pertemanan, kemitraan kerja, atau sekadar memberikan pelayanan yang baik, investasi kecil dalam mempelajari bahasa isyarat akan memberikan dampak sosial yang besar.
Jangan biarkan ketidaktahuan menjadi tembok permanen. Jadikan itu sebagai motivasi untuk melangkah melintasi jembatan komunikasi yang baru. Dunia menjadi jauh lebih kaya ketika semua suara, baik yang terdengar maupun yang terlihat, dapat didengar dan dipahami.