Memahami Keterkaitan: Bahasa Inggris dan Bahasa Isyarat

Komunikasi adalah fondasi interaksi manusia. Dalam dunia yang semakin terglobalisasi, bahasa Inggris memegang peran sentral sebagai lingua franca internasional. Namun, penting untuk tidak melupakan keragaman cara manusia mengekspresikan pikiran, terutama bagi komunitas tuli dan komunikasi visual: bahasa isyarat. Meskipun keduanya terlihat berbeda—satu berbasis bunyi dan yang lain berbasis visual-spasial—memahami hubungan dan perbedaan antara bahasa Inggris dan bahasa isyarat memberikan wawasan mendalam tentang inklusivitas linguistik.

Bahasa Inggris: Dominasi Global

Bahasa Inggris, dengan sejarahnya yang luas dan penyebarannya melalui perdagangan, teknologi, dan budaya pop, telah menjadi bahasa yang wajib dipelajari di banyak negara. Kemampuannya untuk menjembatani jurang antar negara menjadikannya alat yang tak ternilai dalam diplomasi, sains, dan bisnis. Pembelajaran bahasa Inggris berfokus pada fonetik (bunyi), tata bahasa, dan kosakata yang diucapkan atau ditulis. Tujuannya adalah mencapai kefasihan lisan dan tulisan yang memungkinkan pemahaman timbal balik dalam konteks global.

Bahasa Isyarat: Kekayaan Visual dan Budaya

Berbeda dengan persepsi umum, bahasa isyarat bukanlah pantomim universal atau sekadar representasi visual dari bahasa lisan (seperti Bahasa Inggris). Setiap negara atau wilayah seringkali memiliki bahasa isyaratnya sendiri yang unik. Misalnya, Bahasa Isyarat Amerika (ASL) sangat berbeda dari Bahasa Isyarat Inggris (BSL), meskipun kedua negara tersebut menggunakan bahasa Inggris lisan. Bahasa isyarat adalah bahasa yang lengkap dan kompleks dengan tata bahasa, struktur, dan kosakatanya sendiri, yang diekspresikan melalui kombinasi gerakan tangan, ekspresi wajah, dan postur tubuh.

Memahami Perbedaan Struktural

Salah satu perbedaan paling mendasar terletak pada modalitasnya. Bahasa Inggris adalah bahasa auditori-vokal, sementara bahasa isyarat adalah bahasa visual-spasial. Dalam bahasa Inggris, urutan kata (S-P-O) sangat kaku. Sementara itu, tata bahasa bahasa isyarat seringkali lebih fleksibel dalam penempatan objek, tetapi sangat ketat dalam penggunaan ruang dan gerakan non-manual (ekspresi wajah dan gerakan kepala) yang seringkali berfungsi sebagai penanda gramatikal yang tidak dimiliki bahasa Inggris lisan.

Mempelajari bahasa Inggris memerlukan latihan pendengaran dan pengucapan, sedangkan mempelajari bahasa isyarat memerlukan latihan penglihatan dan memori spasial. Ini menunjukkan bahwa mengakui bahasa isyarat sebagai bahasa sejati adalah langkah krusial menuju pengakuan hak-hak komunitas tuli.

Keterkaitan dan Kebutuhan Akan Penerjemah

Mengapa kita perlu membahas bahasa Inggris dan bahasa isyarat bersamaan? Karena dalam konteks internasional, banyak individu tuli yang juga mahir berbahasa Inggris (lisan atau tulisan). Ketika komunikasi terjadi antara penutur bahasa Inggris non-isyarat dan penutur bahasa isyarat, seringkali dibutuhkan penerjemah bahasa isyarat yang mampu menerjemahkan konsep dari modalitas lisan ke visual-spasial, dan sebaliknya.

Tantangannya muncul ketika terjemahan langsung dari Bahasa Inggris ke bahasa isyarat seringkali tidak efisien atau bahkan tidak mungkin dilakukan tanpa memahami struktur bahasa isyarat yang mendasarinya. Para profesional di bidang ini harus mampu memproses informasi dalam satu modalitas dan mengekspresikannya secara alami dalam modalitas yang lain. Keterampilan ini sangat vital dalam konferensi internasional, pendidikan tinggi, dan layanan publik di mana Bahasa Inggris mendominasi presentasi formal.

Mendorong Inklusivitas Melalui Kesadaran

Meningkatkan kesadaran akan adanya bahasa isyarat, terlepas dari dominasi bahasa Inggris, adalah upaya untuk menciptakan masyarakat yang lebih adil. Bahasa Inggris memberikan akses ke informasi global, sementara bahasa isyarat memberikan akses penuh terhadap partisipasi sosial dan budaya bagi komunitas tuli di lingkungan lokal mereka.

Meskipun kurikulum formal mungkin lebih fokus pada bahasa Inggris untuk mobilitas global, dukungan terhadap pendidikan bahasa isyarat—dan pelatihannya—harus diakui sebagai bagian integral dari literasi komunikasi modern. Komunikasi yang efektif tidak hanya tentang kata-kata yang diucapkan, tetapi juga tentang memastikan bahwa setiap orang, tanpa memandang kemampuan mendengar atau berbicara, memiliki sarana untuk terhubung, berbagi ide, dan berpartisipasi penuh dalam masyarakat. Upaya untuk menjembatani kesenjangan antara dunia lisan (sering diwakili oleh bahasa Inggris) dan dunia visual (diwakili oleh bahasa isyarat) adalah cerminan sejati dari komitmen kita terhadap inklusivitas.