Bahasa Bugis, salah satu bahasa daerah yang kaya di Sulawesi Selatan, memiliki kekayaan leksikal yang mendalam, termasuk cara mengekspresikan kondisi fisik dan emosional. Ketika seseorang mengalami rasa sakit—baik itu sakit fisik (penyakit) maupun sakit hati (duka)—ekspresi yang digunakan sering kali memiliki nuansa kultural yang kuat. Memahami padanan kata untuk "sakit" dalam Bahasa Bugis bukan sekadar terjemahan harfiah, tetapi juga memahami konteks sosial di mana rasa sakit itu diucapkan.
Kata dasar yang paling umum digunakan untuk menyatakan rasa sakit fisik adalah "Sakit", yang dalam Bahasa Bugis diucapkan sebagai "Sakeddi" (atau variasi pelafalan lokal). Namun, penggunaannya bisa sangat spesifik. Misalnya, ketika mengeluh tentang demam tinggi, orang Bugis mungkin mengatakan, "Iya’ sakeddi’ pakkasikku," yang secara harfiah berarti 'Saya sakit sangat panas/mendidih.' Struktur kalimat ini menunjukkan intensitas yang lebih kuat daripada sekadar menyatakan bahwa mereka sedang tidak sehat.
Lebih menarik lagi adalah bagaimana Bahasa Bugis mengekspresikan rasa sakit emosional atau kesedihan mendalam—'sakit hati'. Rasa sakit jenis ini sering kali dihubungkan dengan konsep "Mappalili" atau "tertekan/terbebani perasaan". Meskipun kata "sakit" (sakeddi) bisa digunakan, konteks emosional biasanya membutuhkan deskripsi yang lebih puitis atau filosofis. Misalnya, kehilangan anggota keluarga atau kekecewaan besar sering diungkapkan dengan frasa yang menyiratkan beban di dada atau hati yang terasa berat.
Misalnya, ketika seseorang sangat berduka, ungkapan seperti "Pettani' ati’ku" (Hati saya berhenti/terhenti) bisa digunakan untuk menggambarkan keparahan rasa sakit emosional tersebut. Ini menunjukkan bahwa dalam budaya Bugis, sakit hati tidak hanya dianggap sebagai perasaan, tetapi sebagai gangguan serius terhadap fungsi vital diri. Hal ini menunjukkan betapa terintegrasinya kondisi fisik dan mental dalam cara mereka berbahasa.
Selain itu, ada ungkapan yang menunjukkan rasa sakit ringan atau tidak nyaman, misalnya ketika jari tersandung atau tergores sedikit. Untuk hal ini, mungkin cukup menggunakan kata yang lebih lembut, atau sekadar isyarat tanpa harus mengucapkan kata "sakeddi" secara eksplisit. Penggunaan bahasa dalam situasi sehari-hari sangat bergantung pada tingkat keparahan rasa sakit.
Fenomena bahasa ini memberikan wawasan penting bagi siapa pun yang ingin mendalami budaya Bugis. Bahasa adalah cerminan dari bagaimana suatu masyarakat memandang realitas, termasuk bagaimana mereka menghadapi penderitaan. Ketika berinteraksi dengan penutur asli, memperhatikan cara mereka mengucapkan kata "sakit" dapat memberikan indikasi langsung mengenai seberapa serius keluhan yang mereka rasakan, baik itu demam yang membuat tubuh terasa linu atau kesedihan yang membuat jiwa terasa berat. Bahasa Bugis mengajarkan bahwa ekspresi rasa sakit adalah komunikasi yang berlapis, membutuhkan pemahaman kontekstual yang mendalam.
Memahami kekayaan kosakata mengenai rasa sakit dalam Bahasa Bugis membantu menjembatani perbedaan budaya dan meningkatkan empati. Ketika seseorang mengatakan mereka "sakit" dalam bahasa Bugis, mereka mungkin sedang menyampaikan lebih dari sekadar gejala medis; mereka mungkin sedang menyampaikan beban budaya dan emosional yang mereka pikul.