Suku Bugis, yang mayoritas mendiami pesisir Sulawesi Selatan, dikenal memiliki peradaban maritim yang kaya dan filosofi hidup yang mendalam. Salah satu pilar utama dari kekayaan budaya ini adalah bahasa Bugis itu sendiri. Bahasa ini bukan sekadar alat komunikasi; ia adalah wadah yang menyimpan kearifan lokal, etika, dan harapan kolektif masyarakatnya, termasuk keinginan tulus untuk mencapai panjang umur dan hidup sehat selalu.
Dalam berbagai interaksi sosial, ungkapan-ungkapan dalam bahasa Bugis seringkali diselipkan doa dan harapan baik. Ini menunjukkan betapa eratnya konsep kesehatan fisik dan spiritual terjalin dalam tuturan sehari-hari. Kata-kata yang diucapkan membawa energi positif, sebuah bentuk afirmasi yang dipercaya dapat memengaruhi realitas kehidupan.
Ketika kita berbicara tentang harapan untuk umur panjang dan kesehatan dalam konteks Bugis, kita seringkali merujuk pada konsep Sipakatau (saling menghargai) dan Sipamase (saling mengasihi). Meskipun ungkapan langsung "sehat selalu" terdengar sederhana, dalam konteks Bugis, ia mengandung makna yang lebih luas, mencakup keseimbangan lahir dan batin.
Frasa yang sering didengar adalah ucapan selamat tinggal yang mengandung doa, misalnya, "Mappabajiki ammu, sanre’ji" (Semoga engkau selalu baik-baik saja, panjang umur). Ungkapan ini bukan sekadar basa-basi, melainkan manifestasi dari cara pandang hidup yang menekankan pentingnya hubungan sosial yang harmonis untuk mencapai ketenteraman batin, yang secara inheren berkontribusi pada kesehatan fisik. Ketika seseorang merasa dihargai dan dicintai (Sipakatau), tekanan hidup berkurang, dan peluang untuk panjang umur meningkat.
Untuk mencapai panjang umur, masyarakat Bugis secara tradisional sangat menjunjung tinggi prinsip kesederhanaan dan kerja keras yang terukur. Mereka percaya bahwa kehidupan harus dijalani dengan prinsip ‘panre tambe’ (bertahap dan teratur). Keseimbangan antara bekerja keras (sebagai pelaut atau petani) dan menghargai waktu istirahat adalah kunci. Keteraturan ini secara otomatis membantu menjaga tubuh tetap prima.
Selain itu, makanan tradisional Bugis, meskipun kaya rasa, sering kali mengandalkan bahan-bahan alami dari laut dan hasil bumi yang diproses secara sederhana, meminimalkan risiko penyakit degeneratif. Asupan serat, protein, dan rempah-rempah lokal yang tinggi menjadi ‘obat’ pencegahan alami mereka. Bahasa Bugis menjadi kendaraan untuk mewariskan pengetahuan tentang pengobatan tradisional dan pantangan makanan tertentu yang dianggap dapat mengganggu keharmonisan tubuh.
Melestarikan bahasa Bugis berarti menjaga otentisitas kearifan lokal yang mendukung umur panjang dan kesehatan. Ketika generasi muda masih fasih mengucapkan doa-doa leluhur mereka, mereka juga menyerap nilai-nilai etika yang terkandung di dalamnya. Nilai-nilai ini, seperti ketekunan, kejujuran, dan rasa hormat, terbukti menjadi benteng psikologis yang kuat melawan stres modern.
Jadi, ketika kita berharap seseorang 'sehat selalu' dalam konteks budaya Bugis, kita mendoakan tidak hanya tubuh yang kuat, tetapi juga jiwa yang tenang, hubungan sosial yang erat, dan kehidupan yang dijalani sesuai dengan nilai-nilai luhur yang telah terukir dalam bahasa mereka selama berabad-abad. Bahasa Bugis adalah harta karun yang terus berbicara tentang cara hidup yang ideal untuk mencapai panjang umur dan kesejahteraan sejati.