Bahasa Bugis (atau Bugis-Makassar, tergantung klasifikasi spesifik) adalah salah satu bahasa utama di Sulawesi Selatan, Indonesia. Seperti banyak bahasa daerah lainnya, bahasa Bugis memiliki spektrum penggunaan yang luas, mulai dari bahasa yang sangat formal dan santun yang digunakan dalam upacara adat atau komunikasi antar tokoh masyarakat, hingga penggunaan yang lebih santai, bahkan terkesan "kasar" dalam konteks tertentu. Memahami apa yang dikategorikan sebagai bahasa bugis kasar memerlukan pemahaman mendalam mengenai konteks sosial dan intonasi, bukan sekadar terjemahan literal kata per kata.
Di banyak kebudayaan, termasuk Bugis, sopan santun dalam bertutur memegang peranan krusial. Perbedaan antara sapaan biasa dan sapaan yang dianggap kasar seringkali terletak pada pilihan kata ganti orang (pronomina), penambahan partikel penegas, atau penggunaan kata-kata yang secara tradisional diperuntukkan bagi komunikasi dalam lingkaran pertemanan yang sangat akrab atau dalam situasi konfrontatif. Bagi orang luar, membedakan antara ungkapan yang tegas namun wajar dengan ungkapan yang benar-benar menyinggung bisa sangat sulit tanpa panduan budaya.
Kata-kata yang sering diklasifikasikan sebagai bahasa bugis kasar umumnya terkait dengan beberapa kategori. Pertama, penggunaan kata ganti orang kedua yang sangat informal atau merendahkan (misalnya, 'ko' atau bentuk lain yang mengimplikasikan status yang jauh lebih rendah atau ketidakpantasan dalam situasi formal). Kedua, kata-kata yang mengandung sumpah serapah tradisional atau makian spesifik Bugis yang meskipun jarang digunakan dalam percakapan sehari-hari saat ini, tetap eksis dalam memori linguistik.
Perlu ditekankan bahwa dalam konteks modern dan multikultural, sebagian besar masyarakat Bugis cenderung menghindari penggunaan kata-kata yang kasar, terutama saat berinteraksi dengan orang yang lebih tua atau pihak yang dihormati. Ketika ungkapan kasar muncul, biasanya terjadi karena: 1) luapan emosi yang tidak terkontrol (misalnya saat bertengkar atau dalam olahraga fisik); atau 2) dalam lingkungan pertemanan yang sudah sangat akrab, di mana penggunaan kata-kata tersebut justru menjadi bentuk keakraban yang ironis. Namun, bagi pendengar yang tidak memahami konteks tersebut, ungkapan itu tetap dapat dianggap menyinggung.
Sebagai contoh, dalam bahasa Bugis terdapat dikotomi antara 'bicara halus' (biasanya menggunakan imbuhan dan tata bahasa yang lebih lengkap dan sopan) dan 'bicara biasa' atau 'bicara keras'. Transisi ke 'bicara keras' atau kasar seringkali melibatkan penghilangan imbuhan kesopanan atau penggunaan kata kerja dasar tanpa bentuk hormat. Hal ini menciptakan jarak psikologis yang besar dalam komunikasi.
Budaya Bugis sangat menghargai 'siri' (harga diri atau kehormatan). Oleh karena itu, penggunaan bahasa bugis kasar seringkali diasosiasikan dengan pelanggaran atau penghinaan terhadap 'siri' seseorang. Ketika seseorang menggunakan bahasa yang tidak pantas, secara implisit ia menuduh lawan bicaranya telah mengabaikan norma kesopanan atau bahkan merendahkan martabat orang tersebut.
Sisi lain dari spektrum ini adalah bahwa dalam situasi tertentu, penggunaan bahasa yang sangat tegas (yang oleh sebagian orang bisa disalahartikan sebagai kasar) justru diperlukan untuk menunjukkan ketegasan dalam memimpin atau mengambil keputusan penting. Ini bukan kemarahan, melainkan penegasan wibawa yang harus dipahami sebagai bagian dari otoritas. Namun, garis pemisah antara ketegasan yang diizinkan dan kebrutalan verbal seringkali tipis dan sangat bergantung pada siapa yang berbicara kepada siapa.
Bagi pelajar bahasa, fokus utama seharusnya adalah menguasai ragam bahasa yang digunakan dalam interaksi sehari-hari yang netral dan sopan. Mengenal kosakata yang berpotensi kasar lebih bertujuan untuk identifikasi dan penghindaran, bukan untuk adopsi. Kesalahan dalam menggunakan kosakata ini dapat menyebabkan miskomunikasi yang serius, bahkan dalam lingkungan yang dianggap santai sekalipun.
Studi tentang bahasa Bugis menunjukkan bahwa variasi register (tingkat formalitas) sangat kaya. Ketika kita berbicara tentang bahasa bugis kasar, kita sebenarnya sedang membahas register paling rendah atau paling informal, yang memerlukan tingkat keakraban yang tinggi atau kondisi emosional yang ekstrem. Keunikan bahasa ini terletak pada bagaimana struktur gramatikal dapat berubah drastis hanya dengan mengganti satu kata ganti, mengubah nada seluruh kalimat dari sangat hormat menjadi sangat meremehkan.
Pelestarian bahasa Bugis modern kini lebih banyak berfokus pada pemertahanan ragam bahasa adat (pembicaraan istana atau tokoh) dan bahasa sehari-hari yang standar. Ragam bahasa yang ekstrem—baik yang sangat kasar maupun yang sangat tinggi (puitis/ritual)—cenderung menjadi domain penutur tua atau konteks khusus. Namun, jejak linguistik dari ungkapan yang lebih keras tetap relevan untuk dipahami oleh akademisi dan masyarakat yang ingin memahami dinamika sosial lengkap penutur bahasa Bugis.
Kesimpulannya, meskipun istilah "kasar" melekat pada beberapa kosakata dan struktur kalimat dalam bahasa Bugis, konteks sosial, intonasi, dan hubungan antar pembicara adalah faktor penentu utama apakah sebuah ucapan dianggap menyinggung atau hanya sebagai ekspresi informalitas. Memahami nuansa ini adalah kunci untuk menghargai kekayaan linguistik Sulawesi Selatan secara keseluruhan.