Status Bahasa Banjar: Apakah Tidak Ada Perkembangan?

B Pelestarian Bahasa

Visualisasi upaya menjaga kelancaran bahasa daerah.

Pertanyaan mengenai apakah bahasa Banjar tidak lagi memiliki daya tarik atau mengalami kemunduran seringkali muncul di kalangan akademisi, pegiat budaya, dan penutur aslinya. Bahasa Banjar, yang menjadi identitas utama masyarakat Kalimantan Selatan, menghadapi tantangan signifikan di era modernisasi dan dominasi bahasa Indonesia. Menilai perkembangannya membutuhkan tinjauan yang seimbang antara preservasi dan adaptasi.

Ancaman dan Realitas Penutur

Secara historis, bahasa Banjar memiliki akar kuat dalam perdagangan dan kesultanan, menjadikannya bahasa penghubung di wilayah Kalimantan Selatan dan sekitarnya. Namun, arus urbanisasi dan sistem pendidikan nasional yang berpusat pada Bahasa Indonesia telah menciptakan "zona aman" yang secara bertahap mengikis fungsi bahasa Banjar dalam ranah formal. Kekhawatiran terbesar muncul ketika penutur muda mulai merasa bahwa menggunakan bahasa Banjar dalam konteks tertentu dianggap kurang "modern" atau bahkan membatasi peluang profesional.

Apakah ini berarti bahasa Banjar tidak lagi relevan? Jawabannya kompleks. Bahasa Banjar masih sangat hidup dalam ranah domestik, pergaulan sehari-hari di pasar tradisional, dan khususnya dalam kesenian seperti Madihin atau syair. Namun, penurunan frekuensi penggunaannya di ruang publik yang lebih luas adalah fakta yang tidak bisa diabaikan. Jika generasi penerus tidak lagi mampu menguasai nuansa tata bahasa atau kosakata halus, warisan lisan yang kaya ini terancam menjadi artefak sejarah alih-alih bahasa yang hidup.

Inovasi dan Adaptasi: Bahasa Banjar Tidak Berhenti

Meskipun menghadapi tantangan tersebut, menyatakan bahwa bahasa Banjar tidak berkembang adalah pandangan yang terlalu pesimis. Perkembangan bahasa sejatinya adalah tentang adaptasi. Kita melihat upaya signifikan untuk membawa bahasa ini ke ranah digital. Komunitas daring, terutama di platform media sosial, sering kali menjadi tempat inkubasi inovasi linguistik Banjar modern.

Kosakata baru diserap dan diadaptasi untuk menggambarkan fenomena kontemporer yang sebelumnya tidak ada dalam konteks sosial masyarakat Banjar tradisional. Contohnya adalah penggunaan istilah-istilah slang atau penggabungan kata dari Bahasa Indonesia yang di-Banjar-kan. Meskipun beberapa puris menganggap ini sebagai "pengotoran," para ahli linguistik melihatnya sebagai mekanisme bertahan hidup yang memungkinkan bahasa tersebut tetap relevan dengan realitas kehidupan penuturnya saat ini. Jika bahasa tidak bisa berbicara tentang internet atau media sosial, maka bahasa tersebut pasti akan ditinggalkan.

Peran Pendidikan dan Media

Agar bahasa Banjar terus eksis, dukungan struktural sangat penting. Sudah ada upaya untuk memasukkan muatan lokal bahasa Banjar dalam kurikulum sekolah dasar di Kalimantan Selatan. Namun, implementasinya seringkali menghadapi hambatan, mulai dari ketersediaan guru yang kompeten hingga materi ajar yang memadai. Jika bahasa daerah tidak diajarkan secara sistematis, harapan untuk kelestarian jangka panjang akan bergantung sepenuhnya pada inisiatif keluarga, yang mana seringkali terputus oleh faktor sosial ekonomi.

Selain itu, perluasan representasi media sangat krusial. Tayangan televisi lokal, podcast, atau bahkan konten YouTube yang menggunakan bahasa Banjar secara otentik namun menarik dapat menjadi jembatan bagi kaum muda. Ketika mereka melihat bahwa bahasa mereka keren, berdaya saing, dan dapat digunakan untuk mengekspresikan pemikiran modern, resistensi untuk menggunakannya akan berkurang. Kesimpulannya, bahasa Banjar tidak sedang menuju kepunahan total, tetapi sedang melalui fase transisi kritis yang menuntut inovasi kreatif tanpa meninggalkan akar budayanya. Masa depannya bergantung pada seberapa besar kemauan kolektif untuk merayakan dan menggunakannya di berbagai lapisan kehidupan.