Seringkali, kita disajikan dengan narasi bahwa bahagia adalah tujuan akhir yang mudah dicapai; cukup dengan memiliki harta, pasangan sempurna, atau pekerjaan idaman. Namun, kenyataan pahit yang sering kita temui adalah: bahagia itu tidak sederhana. Ia adalah sebuah konstruksi dinamis, sebuah negosiasi konstan antara harapan dan realitas.
Konsep kesederhanaan sering kali diasosiasikan dengan kehidupan minimalis, bebas masalah, dan tanpa beban. Meskipun idealisme semacam itu menarik secara filosofis, ia gagal menangkap spektrum penuh pengalaman manusia. Kebahagiaan sejati jarang datang dalam bentuk yang rapi dan terbungkus pita. Sebaliknya, ia sering kali muncul dari lembah kesulitan, dari penerimaan terhadap ketidaksempurnaan, dan dari perjuangan yang berhasil diatasi.
Salah satu alasan utama mengapa kebahagiaan terasa rumit adalah karena ia melibatkan banyak dimensi yang saling bertentangan. Ada kebahagiaan hedonis—kesenangan sesaat seperti menikmati makanan lezat atau menonton film favorit. Ini sederhana, tetapi singkat. Di sisi lain, ada kebahagiaan eudaimonia—kebahagiaan yang lebih mendalam, yang berasal dari makna hidup, kontribusi, dan pengembangan diri. Dimensi kedua ini secara inheren menuntut usaha, pembelajaran, dan seringkali, pengorbanan.
Misalnya, membangun karier yang memuaskan tidaklah sederhana. Ia memerlukan jam kerja panjang, menghadapi kegagalan, dan terus menerus meningkatkan keterampilan. Proses yang sulit ini, meskipun tidak selalu "menyenangkan" dalam istilah hedonis, menumbuhkan rasa kompetensi dan pencapaian yang menjadi fondasi kebahagiaan yang berkelanjutan.
Ilmu psikologi memperkenalkan konsep "hedonic treadmill" (roda lari hedonis). Konsep ini menjelaskan kecenderungan manusia untuk kembali ke tingkat kebahagiaan dasar mereka meskipun terjadi peristiwa positif besar (seperti memenangkan lotre) atau negatif (seperti kecelakaan). Ketika kita mendapatkan apa yang kita inginkan, euforia awal akan memudar seiring waktu, dan kita akan mulai menetapkan target baru, menciptakan siklus keinginan yang tak berujung.
Jika kita hanya mencari kesenangan sederhana sebagai definisi bahagia, kita akan selalu berlari di tempat. Oleh karena itu, penerimaan bahwa kebahagiaan adalah perjalanan yang membutuhkan penyesuaian mental dan emosional—bukan hanya sekadar pencapaian eksternal—adalah langkah pertama untuk memahami kompleksitasnya.
Bahagia itu tidak sederhana karena ia mengharuskan kita untuk merangkul kontradiksi. Kita bisa merasa sedih karena kehilangan seorang teman, namun pada saat yang sama, kita bisa bersyukur atas kenangan indah yang pernah dimiliki. Kita bisa cemas tentang masa depan, namun tetap menikmati momen saat ini sepenuhnya. Inilah yang membedakan kebahagiaan manusia dari keadaan yang statis.
Kebahagiaan sejati sering kali ditemukan dalam keseimbangan antara upaya dan penerimaan. Berjuang keras untuk tujuan yang kita yakini penting, sambil menerima bahwa hasil akhirnya tidak selalu sempurna. Menerima kegagalan bukan sebagai akhir, melainkan sebagai data pelajaran. Mengelola emosi negatif bukan dengan menekannya, tetapi dengan memahaminya sebagai bagian integral dari spektrum pengalaman hidup yang kaya.
Pada akhirnya, memahami bahwa bahagia itu tidak sederhana adalah sebuah pembebasan. Ini melepaskan kita dari tekanan untuk selalu "terlihat bahagia" atau mencapai versi ideal kebahagiaan yang dipromosikan oleh media. Sebaliknya, ia mengundang kita untuk terlibat secara otentik dengan kehidupan, mengakui kesulitan sebagai bagian tak terpisahkan dari pertumbuhan, dan menghargai momen-momen kejelasan dan makna di tengah kekacauan yang wajar.