Ketika setiap gerakan diatur oleh notifikasi.
Fenomena modern sering kali membuat kita bertanya-tanya: seberapa bebas kita sebenarnya bergerak? Kehidupan saat ini, terutama yang terikat erat dengan teknologi digital, semakin menyerupai keberadaan sebuah objek mati yang dikendalikan dari jarak jauh. Kita hidup bagaikan boneka, terikat oleh benang-benang tak kasat mata berupa algoritma, ekspektasi sosial, dan notifikasi yang tak pernah berhenti.
Konsep "bagaikan boneka" ini bukan sekadar kiasan puitis, melainkan sebuah deskripsi akurat tentang bagaimana otonomi pribadi kita terkikis. Dulu, boneka dikendalikan oleh tali yang dipegang oleh dalangnya; kini, dalangnya adalah perangkat pintar di saku kita. Mulai dari pilihan makanan yang kita konsumsi (berdasarkan rekomendasi aplikasi), rute perjalanan yang kita ambil (berdasarkan GPS), hingga opini politik yang kita anut (dipengaruhi oleh linimasa media sosial), semuanya terasa terarah.
Inti dari menjadi boneka modern adalah ilusi pilihan. Kita merasa memilih saat kita menggulir layar, kita merasa berinteraksi saat kita memberikan 'like', namun sesungguhnya, arena permainan telah ditetapkan oleh pihak ketiga. Algoritma dirancang dengan presisi untuk menjaga mata kita tetap terpaku, memastikan bahwa setiap gerakan kita menghasilkan data yang dapat diperdagangkan atau dimonetisasi. Dalam konteks ini, kita bukan lagi subjek aktif, melainkan objek pasif yang diputar sesuai alur kepentingan komersial.
Kecemasan yang muncul adalah ketika kita kehilangan kemampuan untuk bertindak di luar pola yang telah ditetapkan. Bayangkan seorang seniman yang selalu melukis dengan warna yang sama karena itulah yang paling banyak dibeli secara daring, atau seorang profesional yang hanya mengambil pekerjaan yang sesuai dengan tren industri terkini, meskipun hatinya merindukan bidang lain. Mereka bergerak, mereka bekerja, namun jiwa mereka terkunci dalam bingkai yang sempit. Mereka adalah boneka yang terbuat dari ambisi dan validasi eksternal.
Keterbatasan ini tidak hanya berlaku pada aspek material, tetapi juga pada ranah emosional. Ekspresi yang diterima di ruang publik digital sering kali harus melewati filter kurasi diri yang ketat. Kita menampilkan versi terbaik, terbahagia, atau terprovokatif dari diri kita, takut jika menunjukkan kerentanan sejati kita akan membuat 'tali' kontrol putus, yang berarti kita dianggap gagal atau tidak relevan. Jika boneka tidak bisa menangis kecuali jika ada mekanisme yang memicunya, apakah kita juga menunda kesedihan kita sampai kita bisa mengemasnya menjadi sebuah status yang menyentuh hati banyak orang?
Keterikatan fisik pada perangkat juga memperkuat metafora ini. Ponsel menjadi perpanjangan tangan kita, dan ketika perangkat itu jauh, muncul rasa panik, sindrom fomo (fear of missing out). Kita menoleh ke perangkat untuk mencari petunjuk tentang bagaimana seharusnya kita bereaksi terhadap lingkungan sekitar—sebuah tanda jelas bahwa kendali telah sepenuhnya dialihkan. Kita menjadi sangat bergantung pada input eksternal sehingga tanpa input tersebut, kita lumpuh.
Lalu, adakah jalan keluar dari panggung sandiwara ini? Untuk melepaskan diri dari status bagaikan boneka, dibutuhkan kesadaran yang radikal. Langkah pertama adalah mengenali tali-tali tersebut. Apa yang benar-benar kita inginkan, dan apa yang kita lakukan karena algoritma atau tekanan sosial mendorong kita?
Memutus sebentar koneksi, melakukan aksi yang tidak dapat diprediksi, dan mencari kepuasan dari dalam diri adalah tindakan pemberontakan kecil yang signifikan. Ini bisa sesederhana memilih rute jalan kaki yang berbeda tanpa GPS, membaca buku fisik daripada artikel daring, atau menghabiskan waktu tanpa memikirkan bagaimana momen tersebut akan direkam atau dibagikan. Kebebasan sejati dimulai ketika kita berani membuat gerakan yang tidak ada dalam skenario yang telah disiapkan untuk kita. Hanya dengan begitu, kita bisa mengubah diri dari objek yang digerakkan menjadi subjek yang menggerakkan hidup kita sendiri.