Representasi visual dualitas dalam narasi sejarah.
Dalam studi sejarah dan penulisan kronik tradisional di Nusantara, istilah "Babat" seringkali merujuk pada naskah atau catatan silsilah dan sejarah suatu wilayah atau kerajaan. Namun, ketika kita menambahkan deskriptor spesifik seperti "Babat Hitam dan Putih," kita memasuki ranah interpretasi yang lebih mendalam mengenai bagaimana sejarah itu direkam, diwariskan, dan dipahami. Konsep ini bukanlah sekadar perbedaan warna tinta, melainkan metafora kuat yang mencerminkan dualitas fundamental dalam narasi sejarah.
Secara umum, "hitam" sering dikaitkan dengan aspek-aspek kelam, masa-masa sulit, peperangan, kekalahan, atau bahkan peristiwa yang ingin disembunyikan atau dikaburkan dari catatan resmi. Ini adalah sisi sejarah yang penuh tantangan, tragedi, atau kebijakan yang kontroversial. Dalam konteks manuskrip kuno, ini bisa pula merujuk pada naskah yang ditulis dengan tinta berbasis jelaga (hitam) yang rentan terhadap kerusakan waktu.
Sebaliknya, "putih" melambangkan kejelasan, kebenaran yang diakui, masa kejayaan, atau babak-babak yang dianggap luhur dan patut dikenang. Dalam terminologi penulisan, bagian putih bisa jadi adalah narasi yang disajikan secara "bersih," seringkali didukung oleh sumber-sumber resmi yang ingin melegitimasi kekuasaan atau garis keturunan penguasa. Ini adalah sejarah yang berhasil bertahan dalam memori kolektif dan disajikan tanpa banyak interpretasi yang meragukan.
Babad secara tradisional memiliki fungsi ganda: sebagai arsip silsilah dan sebagai alat legitimasi politik. Oleh karena itu, narasi yang disajikan hampir selalu memiliki bias. Babat Hitam dan Putih membantu sejarawan modern untuk membedah lapisan-lapisan narasi ini. Bagian 'putih' mungkin menceritakan bagaimana seorang raja memenangkan pertempuran dengan strategi brilian, sementara bagian 'hitam' (yang mungkin tersembunyi atau ditulis ulang) bisa saja mengungkapkan bahwa kemenangan itu dicapai melalui pengkhianatan atau bantuan asing.
Menganalisis kontras ini memungkinkan peneliti untuk merekonstruksi peristiwa dengan lebih objektif. Babat Hitam adalah suara-suara yang terpinggirkan, detail-detail yang dihilangkan oleh narator utama (pemenang atau penguasa yang berkuasa). Ia memaksa kita untuk membaca di antara baris-baris teks resmi.
Di era modern, ketika arsip-arsip digital memudahkan akses ke berbagai sumber, konsep Babat Hitam dan Putih tetap relevan sebagai kerangka berpikir. Ini mengajarkan kita bahwa sejarah bukanlah monolit tunggal, melainkan konstruksi yang dibentuk oleh narator yang memiliki agenda.
Para sejarawan kini berusaha menggali "bagian hitam" ini dengan menggunakan metodologi kritis, membandingkan berbagai versi babad, atau bahkan menggali sumber-sumber non-tradisional seperti hikayat rakyat atau catatan asing. Tujuan akhirnya adalah mencapai pemahaman yang lebih seimbang—sebuah sintesis di mana kegelapan dan kecerahan sejarah disandingkan, bukan dihilangkan salah satunya.
Pemahaman bahwa setiap babad memiliki bias, baik yang disengaja maupun yang tidak, adalah langkah pertama menuju penulisan sejarah yang lebih inklusif dan jujur. Babat Hitam dan Putih adalah pengingat abadi bahwa kebenaran sejarah seringkali terletak pada titik temu antara apa yang ingin diceritakan dan apa yang terpaksa diam.