Zakat adalah salah satu pilar utama dalam ajaran Islam, sebuah ritual ibadah yang fundamental setelah syahadat, shalat, dan puasa. Secara etimologis, zakat berarti tumbuh, membersihkan, atau menyucikan. Dalam konteks syariat, zakat adalah penyerahan sebagian tertentu dari harta yang telah mencapai nisab (batas minimum kepemilikan) kepada kelompok yang berhak menerimanya.
Kewajiban zakat ditegaskan secara eksplisit dalam Al-Qur'an, dan salah satu surat yang paling sering dijadikan rujukan utama dalam pembahasan ini adalah Surah At-Taubah (Surah ke-9). Ayat-ayat dalam surah ini tidak hanya memerintahkan pelaksanaan zakat tetapi juga menjelaskan siapa saja yang berhak menerimanya, menjadikannya landasan hukum yang kuat.
Ayat kunci yang secara langsung menyoroti perintah zakat terdapat dalam Surah At-Taubah ayat ke-60. Ayat ini secara rinci menyebutkan delapan kategori penerima zakat (ashnaf) yang harus dipenuhi oleh para amil (pengelola zakat) dalam mendistribusikannya. Ayat tersebut berbunyi:
"Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah, dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana." (QS. At-Taubah: 60)
Perintah dalam ayat ini menunjukkan bahwa zakat bukan sekadar sedekah sukarela, melainkan sebuah kewajiban struktural yang bertujuan menyeimbangkan distribusi kekayaan dalam masyarakat Muslim. Penetapan delapan golongan penerima ini memastikan bahwa bantuan sosial berskala negara telah terstruktur dan terarah kepada pihak yang paling membutuhkan.
Surah At-Taubah turun pada periode Madinah, yaitu saat negara Islam mulai terbentuk dan memerlukan mekanisme ekonomi yang kuat untuk menopang kesejahteraan umat. Zakat memiliki beberapa fungsi vital yang ditekankan dalam konteks ayat-ayat tersebut:
Selain At-Taubah 60, ayat-ayat lain dalam Al-Qur'an sering kali digandengkan dengan perintah salat, seperti pada Surah An-Nisa ayat 77: "Dirikanlah salat dan tunaikanlah zakat..." Konsistensi penyebutan ini menggarisbawahi bahwa hubungan vertikal (ibadah kepada Allah melalui salat) harus diiringi dengan hubungan horizontal (kepedulian sosial melalui zakat).
Surah At-Taubah secara umum membahas tentang pembatalan perjanjian dengan kaum musyrikin setelah penaklukan Makkah dan penegasan kembali identitas umat Islam. Dalam konteks inilah perintah zakat dipertegas. Setelah kaum kafir yang enggan membayar zakat dihilangkan dominasinya, kini umat Islam diperintahkan untuk menyempurnakan sistem ekonomi mereka dengan melaksanakan kewajiban finansial ini secara total dan tanpa kompromi.
Penekanan pada aspek "sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah" (sebagaimana terminologi dalam ayat tersebut) menegaskan bahwa hukum zakat bukanlah usulan yang bisa dinegosiasikan, melainkan ketentuan ilahi yang mengikat setiap Muslim yang memenuhi syarat kepemilikan harta.
Kesimpulannya, Surah At-Taubah memainkan peran krusial dalam mengkodifikasi aspek praktis zakat, menetapkan target penerima yang jelas, serta menegaskan status zakat sebagai pilar ekonomi dan sosial yang tak terpisahkan dari keimanan seorang Muslim. Pelaksanaan zakat yang benar sesuai tuntunan ayat ini menjamin keberkahan harta dan keadilan sosial dalam masyarakat.