Ilustrasi tentang perpindahan dan harapan akan rahmat Tuhan.
Surat At-Taubah, atau Surat Bara'ah, diturunkan pada periode akhir kenabian, terutama berkaitan dengan penataan kembali hubungan umat Islam dengan kaum musyrikin setelah penaklukan Mekkah dan peristiwa penting seperti Perang Tabuk. Ayat 97 dari surat ini secara spesifik menyoroti interaksi antara Rasulullah SAW dengan sekelompok Badui (A'rab) yang memiliki keimanan yang berbeda dibandingkan dengan kaum Muhajirin dan Anshar di Madinah.
Ayat ini berfungsi sebagai jendela untuk memahami dinamika sosial dan spiritual pada masa itu. Kelompok Badui ini datang kepada Nabi Muhammad SAW dan menyatakan keimanan mereka dengan kesungguhan yang tulus. Mereka tidak hanya menyatakan 'kami beriman' secara lisan, tetapi juga menunjukkan kesiapan untuk berkorban dan mengikuti perintah Nabi. Mereka memohon agar Nabi SAW keluar bersama mereka, menunjukkan keinginan untuk menjadi bagian integral dari komunitas yang teguh dalam keimanan.
Poin krusial dalam ayat ini adalah pengakuan iman yang jujur. Dalam banyak konteks tafsir, ayat ini membedakan antara keimanan yang sekadar mengikuti tren atau mencari keuntungan duniawi, dengan keimanan yang murni datang dari hati dan diiringi kesediaan untuk berhijrah (dalam arti luas: meninggalkan kebiasaan lama) dan berkorban. Mereka berjanji untuk menepati janji (baiat) mereka kepada Allah dan Rasul-Nya.
Allah SWT kemudian memuji sifat mereka yang bersedia berhijrah dan berjuang di jalan Allah. Mereka adalah orang-orang yang rela meninggalkan kenyamanan gurun mereka untuk mengikuti tuntunan wahyu. Pengakuan ini sangat penting karena dalam Islam, iman harus dibuktikan dengan amal. Pengakuan iman yang disertai dengan kerelaan berkorban harta dan waktu adalah bukti keteguhan hati yang sangat dihargai oleh Allah.
Meskipun konteks historisnya merujuk pada Badui di masa Nabi, pelajaran dari At-Taubah ayat 97 bersifat universal dan abadi. Ayat ini mengajarkan kita tentang pentingnya integritas dalam beragama. Ketika kita menyatakan diri sebagai seorang Muslim, kita harus siap memenuhi konsekuensi dari pengakuan tersebut. Ini berarti taat pada ajaran Islam, bahkan ketika taat itu menuntut pengorbanan pribadi.
Keimanan yang kokoh tidak hanya hidup dalam ceramah atau shalat yang khusyuk di rumah, tetapi juga dalam interaksi sosial, keputusan bisnis, dan cara kita memperlakukan sesama. Kaum Badui dalam ayat tersebut menginginkan agar Nabi SAW 'keluar' bersama mereka—sebuah metafora bagi kepemimpinan spiritual yang terlihat dan dirasakan dalam kehidupan sehari-hari. Kita perlu memastikan bahwa iman kita memimpin kita untuk aktif berjuang di jalan kebaikan, bukan sekadar menjadi penonton pasif.
Ayat-ayat yang berhubungan dengan hijrah dan perjuangan selalu diiringi dengan janji pertolongan dari Allah SWT. Ketika seseorang telah menunjukkan kesungguhannya dan kerelaannya untuk berkorban demi agama, maka Allah menjamin bahwa pertolongan-Nya akan datang. Janji ini memberikan ketenangan bagi mereka yang sedang berada dalam masa sulit karena ketaatan mereka. Ini mengingatkan bahwa tantangan yang dihadapi saat menegakkan kebenaran adalah bagian dari ujian, dan kesabaran serta keteguhan akan mendatangkan pahala yang besar.
Secara keseluruhan, At-Taubah ayat 97 adalah seruan agar umat Islam selalu menguji kualitas keimanan mereka. Apakah iman kita hanya sebatas pengakuan lisan, ataukah ia telah menumbuhkan keberanian untuk berkorban dan berkomitmen penuh terhadap jalan Allah, sebagaimana diteladankan oleh mereka yang rela meninggalkan kenyamanan demi janji dan keridhaan Ilahi.