Al-Qur'an adalah sumber petunjuk abadi bagi umat manusia, dan setiap ayatnya mengandung hikmah yang mendalam. Salah satu ayat yang seringkali menjadi perbincangan terkait aspek material dan spiritual dalam beragama adalah Surat At-Taubah ayat 99. Ayat ini merupakan penutup dari serangkaian ayat yang membahas tentang sikap kaum Mukminin dalam menghadapi harta dan pengorbanan di jalan Allah.
Ayat ini memberikan pujian yang tinggi kepada segelintir manusia yang tidak hanya beriman, tetapi juga memiliki tingkat kedermawanan (infaq) yang luar biasa, bahkan melebihi apa yang mereka butuhkan untuk diri sendiri.
Perlu diperhatikan bahwa seringkali, tafsir yang mendalam tentang ayat ini dikaitkan dengan ayat-ayat sebelumnya dalam Surat At-Taubah (seperti ayat 98 dan 97) yang membahas tentang orang Badui yang menganggap infaq sebagai beban dan kerugian. Ayat 99 hadir sebagai penyeimbang dan pembeda. Ia menyoroti golongan superior yang tindakannya bertolak belakang seratus delapan puluh derajat.
Frasa kunci dalam ayat ini adalah "yashri nafsahu" (mengorbankan dirinya). Dalam konteks klasik Islam, pengorbanan diri ini sering diartikan sebagai tindakan tertinggi, yaitu siap mati syahid di medan perang demi membela agama Allah dan mengharapkan ridha-Nya semata. Mereka tidak menimbang untung rugi duniawi.
Namun, makna "mengorbankan diri" tidak terbatas hanya pada konteks peperangan fisik. Dalam konteks yang lebih luas dan relevan sepanjang masa, pengorbanan diri mencakup segala bentuk pengorbanan yang membutuhkan pelepasan total dari kepentingan egois demi tujuan yang lebih tinggi. Ini bisa berupa:
Fokus utama dari pengorbanan ini adalah "ibtigha' mardsatillah" (mencari keridhaan Allah). Ini menegaskan bahwa motivasi pelaku tindakan tersebut adalah murni karena kecintaan kepada Pencipta, bukan untuk pujian manusia (riya'), keuntungan pribadi, atau popularitas. Ketika motivasi lurus, maka tindakan apapun, sekecil apapun, akan bernilai besar di sisi Allah.
Ayat ini mengajarkan sublimasi nilai. Bagi golongan yang disebutkan di ayat 98, infaq adalah beban ekonomi. Bagi golongan di ayat 99, pengorbanan diri (yang tentunya mencakup infaq) adalah harga terendah untuk mendapatkan hadiah tertinggi: keridhaan Allah. Mereka menukar nyawa mereka—aset paling berharga—dengan janji keridhaan yang nilainya tak terhingga.
Bagian akhir ayat, "Wallahu Ra’ufun bil ‘Ibad" (Dan Allah Maha Penyayang kepada hamba-hamba-Nya), memberikan penegasan yang menenangkan. Meskipun Allah memerintahkan pengorbanan yang tampak berat, Dia adalah Zat yang Maha Pengasih. Penyebab Allah memberi perintah yang menuntut pengorbanan adalah karena Dia mengetahui bahwa di balik ujian tersebut terdapat kebaikan dan rahmat yang akan kembali kepada hamba-Nya. Sifat kasih sayang-Nya memastikan bahwa setiap tetes pengorbanan yang tulus akan dibalas dengan kasih sayang-Nya yang jauh lebih besar. Ayat 99 adalah janji bahwa kedermawanan sejati yang didorong oleh keikhlasan selalu berbalas kasih sayang Ilahi.