Pelajaran Penting dari At-Taubah Ayat 87: Memilih Duniawi di Atas Akhirat

Visualisasi: Kecenderungan memilih urusan duniawi.

Surah At-Taubah (9): 87

رَضُوا بِأَنْ يَكُونُوا مَعَ الْخَوَالِفِ وَطُبِعَ عَلَى قُلُوبِهِمْ فَهُمْ لَا يَفْقَهُونَ

Artinya: "Mereka ridha karena menjadi termasuk orang-orang yang ketinggalan (tidak ikut berjihad), dan hati mereka telah dicap sehingga mereka tidak memahami."

Konteks Penurunan Ayat

Ayat ke-87 dari Surah At-Taubah ini turun dalam konteks yang sangat spesifik, yaitu pada masa persiapan kaum Muslimin untuk menghadapi Perang Tabuk. Perang Tabuk adalah ekspedisi militer besar melawan tentara Romawi Bizantium yang dilakukan pada masa sulit, di mana cuaca sangat panas dan jaraknya jauh. Pada situasi genting inilah, Allah SWT menyingkap karakter sekelompok orang yang memilih untuk tidak bergabung dalam jihad, meskipun mereka mengaku beriman.

Ayat ini memberikan peringatan keras kepada mereka yang lebih memilih kenyamanan duniawi daripada ketaatan total kepada Allah SWT. Mereka memilih untuk tetap tinggal di Madinah, bergabung dengan kelompok "al-Khalif" (orang-orang yang tertinggal atau wanita dan anak-anak yang tidak ikut berperang), dan hal ini menunjukkan rendahnya prioritas mereka terhadap perintah agama yang mendesak.

Makna "Ridha Bersama yang Tertinggal"

Kata kunci dalam ayat ini adalah "رَضُوا بِأَنْ يَكُونُوا مَعَ الْخَوَالِفِ" (mereka ridha karena menjadi termasuk orang-orang yang ketinggalan). Keridhaan ini adalah indikasi kegagalan spiritual yang fatal. Jihad fi sabilillah, terutama dalam kondisi genting seperti Tabuk, adalah ujian keimanan yang paling nyata. Mereka yang memilih untuk tidak pergi, bukan karena uzur syar'i yang dibenarkan, tetapi karena keengganan, kemalasan, atau ketakutan akan kehilangan harta dan kenyamanan duniawi, telah menunjukkan bahwa tingkat keimanan mereka jauh di bawah standar.

"Al-Khalif" bisa diartikan sebagai mereka yang ditinggalkan di belakang. Bagi seorang mukmin sejati yang bersemangat dalam membela agama, tertinggal dari barisan depan dianggap sebagai aib besar, bukan sesuatu yang patut diridhai. Sikap ini menunjukkan orientasi hidup mereka yang sepenuhnya berpusat pada dunia, bertentangan dengan semangat hijrah dan pengorbanan yang diajarkan Islam.

Bencana "Pencapan Hati"

Bagian terberat dari ayat ini adalah konsekuensinya: "وَطُبِعَ عَلَى قُلُوبِهِمْ فَهُمْ لَا يَفْقَهُونَ" (dan hati mereka telah dicap sehingga mereka tidak memahami). Pencapan hati (thaba'a 'ala qulubihim) adalah hukuman ilahi bagi mereka yang berulang kali menolak kebenaran dan tenggelam dalam kesenangan fana.

Ketika hati telah dicap, kemampuan untuk menerima petunjuk, memahami hikmah, dan merasakan manisnya ketaatan akan hilang. Mereka tidak lagi mampu membedakan antara kepentingan sejati (akhirat) dan kepentingan semu (dunia). Inilah bahaya terbesar: hidup dalam kegelapan spiritual tanpa menyadarinya. Mereka mungkin secara fisik sehat dan cerdas dalam urusan dunia, namun mereka buta dalam hal yang paling fundamental—memahami pesan Allah.

Relevansi At-Taubah Ayat 87 Saat Ini

Meskipun konteksnya adalah peperangan fisik, pesan At-Taubah 87 sangat relevan untuk kehidupan seorang Muslim modern. Tantangan hari ini bukan hanya medan perang fisik, tetapi juga medan perang ideologi, godaan konsumerisme, dan prioritas hidup.

Ayat ini mendorong kita untuk introspeksi: Apakah kita lebih memilih "tinggal" bersama kesibukan duniawi yang melalaikan, seperti mengejar kekayaan tanpa batas, hiburan tanpa arah, atau status sosial yang fana, daripada berjuang di jalan Allah? Ketika panggilan untuk beribadah, berjihad intelektual, atau berkorban waktu/harta untuk kebaikan umat datang, apakah kita cenderung memilih menjadi "yang tertinggal" karena kita "ridha" dengan zona nyaman kita?

Jika kita mendapati diri kita sering menunda amal kebaikan, sulit menerima nasihat agama, atau merasa lebih nyaman jauh dari masjid atau kajian ilmu, kita harus waspada. Itu bisa menjadi tanda awal dari pencapaian hati yang dikhawatirkan oleh ayat ini. Kunci untuk menghindarinya adalah menjaga kepekaan hati (fiqh) melalui ketaatan yang tulus dan menjauhi keridhaan terhadap kemalasan spiritual. Memahami ayat ini adalah langkah awal agar hati kita tetap lapang menerima kebenaran, bukan malah dicap menjadi golongan yang tidak pernah mengerti.