"Tetapi Rasul dan orang-orang yang beriman bersama dia, berjihad dengan harta dan diri mereka. Dan mereka itulah orang-orang yang mendapatkan kebaikan, dan mereka itulah orang-orang yang beruntung." (QS. At-Taubah: 88)
Surat At-Taubah merupakan salah satu surat Madaniyah terakhir yang diturunkan, sarat dengan pembahasan mengenai situasi genting umat Islam pasca-Fathu Makkah dan peristiwa Tabuk. Ayat 88 ini secara spesifik ditempatkan dalam rangkaian ayat yang membahas tentang kontras sikap antara orang-orang munafik dan orang-orang mukmin sejati. Ayat sebelumnya mengecam keras mereka yang enggan ikut berjihad dan mencari alasan palsu. Ayat 88 kemudian datang sebagai penegasan dan penghargaan tertinggi bagi kelompok yang memegang teguh komitmen mereka kepada Allah dan Rasul-Nya.
Konteks utama dari ayat ini adalah penekanan terhadap konsep jihad bil mal (berjihad dengan harta) dan jihad bin-nafs (berjihad dengan jiwa). Ini bukan sekadar ajakan untuk berperang fisik, melainkan manifestasi totalitas pengabdian seorang mukmin terhadap agamanya. Pada masa sulit, khususnya saat menghadapi ancaman besar atau ketika Islam membutuhkan pengorbanan kolektif, harta benda dan nyawa menjadi taruhan utama dalam pembuktian iman.
Berjihad dengan Harta (Bil Mal) mencakup segala bentuk infak, sedekah, sumbangan, dan penggunaan sumber daya ekonomi untuk kemaslahatan agama, membela kebenaran, serta menopang kebutuhan para pejuang di medan pertempuran. Ini menunjukkan bahwa iman tidak hanya diucapkan di lisan, tetapi harus dibuktikan dengan nyata melalui alokasi sumber daya yang dimiliki. Tanpa dukungan finansial, perjuangan skala besar hampir mustahil terlaksana.
Sementara itu, Berjihad dengan Jiwa (Bin Nafs) adalah tingkatan pengorbanan tertinggi. Ini berarti kesiapan untuk mempertaruhkan segalanya, termasuk nyawa, di jalan Allah. Rasulullah SAW dan para sahabat senior adalah teladan utama dalam hal ini. Mereka tidak hanya memimpin, tetapi juga berada di garis depan, membuktikan bahwa kepemimpinan spiritual harus selalu dibarengi dengan keberanian fisik dan keteguhan mental.
Puncak dari ayat ini adalah janji ilahi: "Dan mereka itulah orang-orang yang mendapatkan kebaikan, dan mereka itulah orang-orang yang beruntung (Al-Muflihun)." Kata kebaikan (Al-Fawz) dalam konteks ini mencakup keberhasilan duniawi yang diridai Allah, seperti kemenangan, kedamaian, dan kemuliaan di mata Allah dan manusia.
Lebih penting lagi adalah label "Al-Muflihun" (orang-orang yang beruntung). Dalam terminologi Al-Qur'an, keberuntungan sejati tidak diukur dari kekayaan duniawi sesaat, melainkan dari pencapaian ridha Allah dan sukses di akhirat. Mereka yang mengorbankan harta dan jiwa di saat sulit adalah mereka yang telah 'memenangkan' tiket menuju surga-Nya. Ayat ini menegaskan bahwa keuntungan terbesar bukanlah apa yang didapat di dunia, tetapi pahala abadi yang menanti mereka yang tulus dalam pengorbanan.
Walaupun konteks peperangan fisik mungkin berbeda, semangat At-Taubah ayat 88 tetap relevan. Jihad hari ini dapat berupa perjuangan melawan kebodohan (berjuang dengan ilmu), melawan ketidakadilan (berjuang dengan advokasi dan kebijakan), atau melawan hawa nafsu (berjuang dengan kesabaran dan ketakwaan). Intinya adalah kesiapan untuk mengorbankan kenyamanan pribadi, waktu, dan sumber daya demi menegakkan nilai-nilai kebenaran dan kemaslahatan umat.
Ayat ini menjadi pengingat bahwa iman yang pasif tidak akan mendatangkan hasil. Keimanan yang aktif, yang siap berkorban secara materiil dan spiritual, adalah ciri khas mukmin sejati yang dijamin meraih kesuksesan tertinggi di sisi Allah SWT.