Mengenal Masjid Diraar: Pelajaran dari At-Taubah Ayat 107-108

Masjid Tulus VS Masjid Diraar

Ilustrasi Perbedaan antara tempat ibadah yang benar dan yang dimanfaatkan untuk mudharat.

Dalam lembaran sejarah Islam, terdapat kisah-kisah yang memberikan pelajaran mendalam mengenai niat dan manifestasi amal perbuatan, terutama dalam ranah pembangunan tempat ibadah. Salah satu kisah paling signifikan tercatat dalam Al-Qur'an, yaitu mengenai "Masjid Diraar," yang menjadi fokus utama dalam Surah At-Taubah ayat 107 dan 108. Ayat-ayat ini bukan sekadar narasi masa lalu, tetapi merupakan pedoman tegas mengenai pentingnya kemurnian niat dalam setiap dakwah dan pembangunan fasilitas agama.

Konteks Sejarah Masjid Diraar

Ayat-ayat ini diturunkan setelah peristiwa penaklukan Mekkah dan menjelang atau selama masa Perang Tabuk. Terdapat sekelompok kaum munafik yang membangun sebuah masjid di dekat Madinah. Secara fisik, bangunan itu menyerupai masjid pada umumnya—lengkap dengan mimbar dan tempat salat. Namun, niat di baliknya sangatlah berbeda. Tujuan utama mereka membangun masjid tersebut bukanlah untuk mencari keridaan Allah SWT, melainkan untuk menyebarkan kemunafikan, memecah belah barisan kaum Muslimin, dan menjadi tempat persembunyian serta markas operasional bagi musuh-musuh Islam.

QS. At-Taubah Ayat 107: "Dan (di antara orang-orang yang membangun masjid) ada yang bermaksud menyarangkan bahaya, menyebarkan kekufuran, memecah belah orang-orang yang beriman, dan sengaja membuat tempat menunggu (bahaya) bagi orang-orang yang telah memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak dahulu. Dan mereka sungguh akan bersumpah: 'Kami tidak menghendaki selain (menyediakan) kebaikan.' Tetapi Allah Maha Mengetahui bahwa mereka sungguh-sungguh pendusta."

Ayat 107 menjelaskan inti permasalahan Masjid Diraar: sebuah fasad kesalehan yang menyembunyikan niat buruk. Mereka menggunakan kedok "kebaikan" dan "pelayanan" untuk tujuan yang destruktif. Islam sangat menekankan bahwa ibadah harus dilakukan dengan keikhlasan penuh. Ketika sebuah bangunan yang mengklaim diri sebagai rumah ibadah justru menjadi pusat maksiat dan perpecahan, maka konsekuensinya sangat serius di mata syariat.

Perintah Penghancuran dan Ketegasan Ayat 108

Melihat fakta bahwa Masjid Diraar adalah sarang maksiat terselubung, wahyu kemudian turun memerintahkan Rasulullah SAW untuk tidak pernah melaksanakan salat di dalamnya. Ketegasan ini menunjukkan betapa berbahayanya membiarkan kerusakan menyebar di bawah simbol kesucian. Allah memberikan instruksi yang lugas kepada Nabi Muhammad SAW.

QS. At-Taubah Ayat 108: "Janganlah engkau melaksanakan salat di dalamnya (Masjid Diraar) selama-lamanya. Sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar takwa sejak hari pertama adalah lebih pantas engkau salat di dalamnya. Di sana terdapat orang-orang yang ingin menyucikan diri. Dan Allah mencintai orang-orang yang menyucikan diri."

Ayat 108 kemudian membandingkan Masjid Diraar dengan masjid yang didirikan atas dasar takwa (berdasarkan kesucian niat dan tujuan). Masjid yang didirikan karena takwa, seperti Masjid Quba yang dibangun Nabi SAW di awal hijrah, adalah tempat yang diridai Allah karena didasari oleh ketulusan dan keinginan untuk membersihkan jiwa (menyucikan diri).

Pelajaran Abadi Tentang Niat (Niyyah)

Kisah At-Taubah 107-108 mengajarkan sebuah prinsip fundamental dalam Islam: **Amal fisik harus sejalan dengan niat spiritual.** Sebuah bangunan bisa terlihat agung, didanai dengan besar, dan diresmikan dengan meriah, tetapi jika fondasi niatnya adalah untuk permusuhan, penipuan, atau perpecahan, maka bangunan tersebut tercela dan harus dihindari atau dirobohkan.

Pelajaran ini meluas melampaui kontruksi fisik masjid. Ini berlaku untuk semua kegiatan sosial, politik, dan dakwah yang mengatasnamakan agama. Setiap organisasi, yayasan, atau perkumpulan yang bertujuan baik di permukaannya, tetapi secara diam-diam menyebarkan kebencian atau memecah belah umat, sejatinya sedang membangun "Masjid Diraar" versi kontemporer mereka.

Islam mengajarkan keadilan, tetapi juga mengajarkan kewaspadaan. Umat Muslim diperintahkan untuk berhati-hati terhadap fasad kemuliaan yang menyembunyikan kerusakan. Allah SWT menegaskan bahwa Dia Maha Mengetahui niat sejati, melebihi sumpah-sumpah palsu yang diucapkan para munafik tersebut. Oleh karena itu, integritas hati dan kemurnian tujuan adalah mata uang utama di hadapan Allah, jauh lebih penting daripada kemewahan arsitektur atau jumlah pengikut. Ketegasan Nabi SAW dalam mengikuti perintah ini menunjukkan bahwa menjaga kesucian institusi agama dari distorsi adalah prioritas utama demi menjaga kebenaran ajaran Islam itu sendiri.