Mengenal Aksara Wolio: Jantung Literasi Buton

Di tengah kekayaan budaya Nusantara, terdapat warisan tulis-menulis yang unik dan memukau, yaitu Aksara Wolio. Aksara ini merupakan sistem penulisan tradisional yang berasal dari Kesultanan Buton, sebuah kerajaan maritim yang pernah berjaya di gugusan pulau Sulawesi Tenggara. Aksara Wolio bukan sekadar simbol visual; ia adalah penjelmaan identitas, sejarah, dan kearifan lokal masyarakat Buton yang telah diwariskan dari generasi ke generasi.

Representasi visual stylized dari beberapa karakter Aksara Wolio

Ilustrasi Stylized dari elemen Aksara Wolio.

Sejarah dan Perkembangan

Aksara Wolio diperkirakan berkembang sekitar abad ke-17 atau lebih awal, seiring dengan menguatnya pengaruh Kesultanan Buton sebagai pusat perdagangan dan kekuasaan di wilayah timur Nusantara. Aksara ini digunakan secara luas, tidak hanya untuk mencatat sejarah kesultanan, surat-menyurat diplomatik, tetapi juga untuk mengabadikan mantra-mantra tradisional, silsilah raja, dan bahkan hukum adat. Secara struktural, Aksara Wolio memiliki kemiripan dengan aksara-aksara rumpun Melayu Kuno, seperti Aksara Lontara dari Bugis-Makassar, namun memiliki kekhasan tersendiri dalam bentuk dan kaidah penulisannya.

Penamaan "Wolio" sendiri merujuk pada salah satu kampung tertua di Kota Baubau, yang merupakan pusat pemerintahan Kesultanan Buton. Penggunaan aksara ini bertahan cukup lama, bahkan setelah masa kolonial, namun popularitasnya mulai menurun drastis pada pertengahan abad ke-20, terutama setelah dominasi sistem penulisan Latin semakin meluas dalam sistem pendidikan formal.

Karakteristik Visual Aksara Wolio

Salah satu ciri khas Aksara Wolio adalah bentuknya yang cenderung **melengkung dan membulat**, berbeda dengan aksara yang memiliki garis lurus tegas. Bentuk ini diyakini dipengaruhi oleh alat tulis dan media yang digunakan saat itu, yakni pena dari bambu atau kayu yang diiris, serta media utama berupa daun lontar yang membutuhkan goresan yang tidak terlalu tajam. Aksara Wolio tergolong dalam rumpun aksara abugida (atau aksara suku kata), di mana setiap konsonan memiliki vokal inheren /a/. Tanda-tanda diakritik (seperti tanda di atas atau di bawah) digunakan untuk mengubah vokal inheren tersebut menjadi /i/, /u/, atau meniadakan vokal (menjadi konsonan mati).

Meskipun jumlah hurufnya relatif terbatas dibandingkan dengan Alfabet Latin, variasi posisi penulisan—baik dari kanan ke kiri maupun dari atas ke bawah tergantung konteks—menunjukkan kompleksitas yang menarik bagi para filolog. Pelestarian aksara ini sering kali terhambat karena minimnya dokumentasi standar yang mudah diakses oleh masyarakat umum.

Upaya Pelestarian di Era Digital

Saat ini, Aksara Wolio menghadapi tantangan serius untuk bertahan di tengah arus globalisasi dan digitalisasi. Banyak naskah kuno yang tersimpan dalam kondisi rentan dan perlu restorasi segera. Pemerintah daerah dan pegiat budaya setempat telah menunjukkan inisiatif untuk menghidupkan kembali warisan ini. Upaya ini mencakup digitalisasi naskah-naskah tua, pengajaran dasar aksara di sekolah-sekolah kejuruan berbasis budaya, serta pengembangan font komputer Aksara Wolio.

Pengenalan Aksara Wolio melalui media modern seperti internet dan media sosial menjadi krusial. Ketika generasi muda dapat melihat bagaimana aksara leluhur mereka dapat diaplikasikan pada desain kontemporer—misalnya pada kaos, seni grafis, atau bahkan sebagai elemen branding—maka ketertarikan untuk mempelajarinya secara mendalam akan meningkat. Memahami Aksara Wolio adalah langkah penting dalam menjaga otentisitas identitas Buton di kancah budaya Indonesia yang semakin terglobalisasi.

Warisan tulis-menulis seperti Aksara Wolio adalah harta tak ternilai. Ia merefleksikan bagaimana nenek moyang kita berkomunikasi, berpikir, dan mencatat peradaban mereka. Melalui upaya pelestarian yang berkelanjutan, Aksara Wolio diharapkan tidak hanya menjadi catatan sejarah, tetapi juga menjadi bagian hidup yang relevan bagi masyarakat Buton modern.