Representasi visual dari perjalanan menuju kedamaian.
Frasa "aku hanya ingin bahagia" terdengar sederhana, namun di baliknya tersimpan kompleksitas pengalaman manusia yang tak terhingga. Ini bukan sekadar keinginan sesaat, melainkan dorongan mendasar yang mendorong hampir setiap keputusan, ambisi, dan pengorbanan yang kita lakukan dalam hidup. Kebahagiaan, dalam konteks ini, seringkali dipandang sebagai tujuan akhir, sebuah pulau terpencil di tengah lautan tantangan dan ketidakpastian.
Masalahnya, definisi dari kebahagiaan itu sendiri sangatlah cair. Bagi sebagian orang, kebahagiaan berarti pencapaian materi yang signifikan—rumah mewah, mobil baru, atau stabilitas finansial yang memungkinkan mereka tidur nyenyak. Bagi yang lain, ia terwujud dalam hubungan sosial yang mendalam, dikelilingi oleh keluarga dan teman yang mencintai. Ada pula yang menemukannya dalam pencapaian spiritual, kedamaian batin yang tidak terpengaruh oleh hiruk pikuk dunia luar. Karena definisi yang berbeda inilah, upaya untuk meraihnya seringkali terasa seperti mengejar bayangan.
Di era digital saat ini, tantangan untuk merasa bahagia semakin diperparah oleh budaya perbandingan. Media sosial menampilkan versi terbaik dari kehidupan orang lain—liburan yang sempurna, karier yang menanjak, dan senyum yang selalu merekah. Ketika kita membandingkan realitas hidup kita yang penuh perjuangan dan hari-hari biasa dengan sorotan kehidupan orang lain, wajar jika kita merasa tertinggal. Keinginan untuk "hanya ingin bahagia" kemudian berubah menjadi tekanan untuk "harus terlihat bahagia."
Pencarian ini juga seringkali terdistorsi oleh ekspektasi bahwa kebahagiaan adalah keadaan permanen. Kita berharap jika kita mendapatkan pekerjaan X, atau bertemu pasangan Y, atau menyelesaikan masalah Z, maka kebahagiaan akan datang dan menetap selamanya. Kenyataannya, hidup adalah siklus. Ada hari-hari cerah dan ada badai. Menerima dualitas ini—bahwa kesedihan, kegagalan, dan kekecewaan adalah bagian integral dari pengalaman manusia—justru merupakan langkah awal yang krusial dalam mencapai kedamaian yang lebih stabil.
Daripada melihat kebahagiaan sebagai titik akhir, banyak filsuf dan psikolog modern menyarankan kita untuk mengubah fokus ke perjalanan itu sendiri. Bagaimana jika "aku hanya ingin bahagia" diterjemahkan menjadi "aku ingin menjalani hari ini dengan penuh kesadaran dan rasa syukur"?
Kebahagiaan yang berkelanjutan (well-being) seringkali ditemukan dalam praktik sehari-hari:
Ketika kita berhenti menuntut kebahagiaan yang sempurna dan mulai menerima kebahagiaan yang nyata—yang hadir dalam momen-momen kecil di sela-sela rutinitas—maka kalimat "aku hanya ingin bahagia" mulai bergeser maknanya. Ia tidak lagi menjadi ratapan penuh kerinduan, melainkan sebuah afirmasi lembut bahwa kita berhak untuk mencari dan menemukan kepuasan dalam setiap langkah yang kita ambil. Pencarian itu sendiri, ketika dilakukan dengan kesadaran, sudah merupakan bentuk kebahagiaan yang paling sejati.
Pada akhirnya, kebahagiaan bukanlah hadiah yang harus dimenangkan, melainkan sebuah cara untuk melihat dunia. Dan dengan mengubah cara kita memandang, kita mungkin menyadari bahwa apa yang selama ini kita cari sudah ada, menunggu untuk disadari dan dirayakan dalam kesederhanaan hidup yang kita jalani sekarang.