Aksara Jawa, atau yang lebih dikenal dengan sebutan Hanacaraka, adalah salah satu sistem penulisan tertua di Indonesia yang masih lestari hingga kini. Di antara berbagai bentuk penulisannya, Aksara Jawa Nglegena menempati posisi penting. Istilah "Nglegena" sendiri berarti 'telanjang' atau 'tanpa sandhangan', merujuk pada cara penulisan dasar di mana hanya huruf konsonan yang ditulis, sementara vokal diasumsikan berdasarkan konteks.
Dalam perkembangannya, Aksara Jawa telah mengalami evolusi signifikan. Bentuk Nglegena adalah fondasi dari sistem penulisan ini. Meskipun dalam praktik penulisan modern sering digunakan bersama sandhangan (tanda diakritik) untuk menandai vokal selain 'a', pemahaman terhadap bentuk Nglegena sangat krusial. Ini adalah inti dari identitas linguistik dan budaya Jawa.
Aksara Jawa Nglegena memiliki karakteristik visual yang sangat khas. Bentuknya cenderung meliuk-liuk, anggun, dan memiliki garis lengkung yang halus, mencerminkan filosofi keselarasan dan keindahan dalam budaya Jawa. Setiap aksara mewakili satu suku kata yang berakhiran vokal 'a' secara inheren (misalnya, aksara 'Ka' dibaca 'ka').
Sistem ini berbeda dari banyak aksara abugida lain di Asia Tenggara karena sifatnya yang 'legan' atau Nglegena. Untuk mengubah vokal akhir menjadi 'i', 'u', 'e', atau 'o', digunakanlah sandhangan yang diletakkan di atas, di bawah, atau di samping aksara dasar. Namun, ketika berhadapan dengan teks Nglegena murni, pembaca harus mengandalkan pemahaman konteks kalimat untuk menentukan vokal yang tepat.
Secara tradisional, Aksara Jawa ditulis menggunakan alat tulis khusus yang disebut 'Gaya' atau 'Pena Jawa' pada media seperti daun lontar atau kertas tebal. Teknik penulisannya membutuhkan ketelitian dan kehalusan agar setiap guratan memiliki makna dan keindahan yang sempurna.
Sistem penulisan dasar Jawa terdiri dari 20 aksara dasar (Hanacaraka) yang merupakan konsonan. Ke-20 aksara ini adalah fondasi yang sangat penting untuk dipelajari sebelum melangkah ke sandhangan dan pasangan.
Setiap huruf ini, dalam konteks Nglegena, membawa suara vokal default 'a'. Misalnya, ketika Anda melihat aksara yang mewakili 'Sa', tanpa sandhangan, ia dibaca 'sa'. Keindahan dan tantangan Aksara Jawa terletak pada bagaimana pembaca harus mampu membaca makna tersirat dari deretan konsonan yang 'telanjang' ini.
Meskipun terkesan kuno, upaya pelestarian Aksara Jawa Nglegena terus dilakukan. Di era digital saat ini, banyak upaya dilakukan untuk mendigitalkan dan mempopulerkan aksara ini, mulai dari pengembangan font digital hingga aplikasi pembelajaran interaktif. Menguasai Aksara Jawa Nglegena bukan hanya tentang membaca dan menulis; ini adalah tentang merawat warisan intelektual dan spiritual leluhur Jawa.
Memahami Nglegena membantu kita menghargai lapisan makna dalam sastra klasik Jawa. Ketika teks kuno dibaca, sering kali ia disajikan dalam bentuk yang mendekati Nglegena, menuntut pembaca modern untuk kembali ke akar sistem penulisan sebelum menggunakan notasi modern dengan sandhangan lengkap. Pelestarian ini memastikan bahwa suara dan filosofi yang terkandung dalam guratan-guratan kuno tidak hilang ditelan zaman.