Alt Text: Ilustrasi sederhana yang menampilkan beberapa bentuk dasar aksara Jawa (seperti Ha, Na, Ca) dan sebuah sandhangan (tanda vokal).
Aksara Jawa, atau yang sering disebut Hanacaraka, adalah sistem penulisan tradisional yang kaya akan sejarah dan filosofi, khususnya berkembang di wilayah Jawa Tengah dan sekitarnya. Meskipun kini kita mayoritas menggunakan aksara Latin, warisan visual dari **aksara Jawa Tengah** ini tetap memegang peranan penting dalam menjaga identitas budaya Jawa. Aksara ini bukan sekadar alat komunikasi, melainkan cerminan kosmologi dan tatanan masyarakat Jawa kuno.
Sistem penulisan Jawa merupakan turunan dari aksara Brahmi di India, yang kemudian berkembang melalui adaptasi lokal selama berabad-abad. Aksara Jawa modern terdiri dari 20 aksara dasar yang melambangkan konsonan (disebut *aksara legena*), masing-masing diasosiasikan dengan urutan filosofis yang dikenal melalui tembang legendaris "Hanacaraka". Setiap aksara memiliki pasangan vokal bawaan /a/, yang kemudian dapat dimodifikasi menggunakan tanda baca khusus yang disebut *sandhangan*.
Keindahan aksara Jawa terletak pada keteraturannya. Setiap karakter memiliki proporsi dan gaya lengkung yang khas, menciptakan aliran visual yang anggun ketika dituliskan. Dalam konteks Jawa Tengah, khususnya pada masa kesultanan Mataram, aksara ini digunakan secara ekstensif untuk menulis naskah-naskah penting, termasuk Babad (sejarah), serat (tulisan filosofis), dan piwulang (ajaran moral).
Penggunaan aksara Jawa tidak bisa dilepaskan dari sistem sandhangan. Sandhangan berfungsi untuk mengubah bunyi vokal bawaan /a/ menjadi vokal lain seperti /i/, /u/, /e/, atau /o/, serta untuk menandai konsonan mati (pengalihan). Terdapat tiga kategori utama sandhangan:
Kompleksitas ini menunjukkan kedalaman linguistik aksara tersebut. Seorang penulis harus menguasai tidak hanya bentuk 20 aksara dasar tetapi juga kombinasi puluhan sandhangan untuk dapat menuliskan bahasa Jawa secara akurat sesuai kaidah baku.
Meskipun menghadapi tantangan dari dominasi alfabet Latin, upaya pelestarian **aksara Jawa Tengah** terus dilakukan dengan giat. Pemerintah daerah, bersama pegiat budaya dan akademisi, gencar mempromosikan kembali penggunaan aksara ini melalui kurikulum pendidikan sekolah dasar dan menengah di wilayah Jawa. Peninggalan-peninggalan bersejarah yang ditulis menggunakan Hanacaraka menjadi objek studi penting yang membuka jendela pemahaman kita tentang peradaban masa lalu.
Di ranah digital, upaya adaptasi juga terlihat. Font aksara Jawa kini tersedia untuk komputer dan perangkat seluler, memungkinkan masyarakat untuk mengetik dan berbagi tulisan dalam format tradisional ini. Namun, tantangan terbesar tetap terletak pada minat generasi muda. Memahami aksara Jawa bukan sekadar menghafal bentuk huruf, tetapi juga memahami konteks budaya, tata krama, dan kearifan lokal yang terkandung di dalamnya. Aksara ini adalah warisan tak ternilai yang harus dijaga agar tetap hidup dan relevan melintasi zaman. Pelestarian ini memastikan bahwa suara dan narasi leluhur Jawa tetap dapat dibaca oleh generasi mendatang.