Dua Dunia dalam Frekuensi yang Sama
Di tengah hiruk pikuk kehidupan urban, telinga kita sering kali menjadi saksi dari pertemuan suara-suara yang secara kultural dianggap berlawanan: panggilan suci adzan yang menggema dan gonggongan anjing yang menandai batas teritorial. Fenomena ini mungkin terdengar sepele, namun ia menyentuh inti dari bagaimana kita menafsirkan lingkungan akustik di sekitar kita. Adzan, dengan lantunan yang khidmat dan memiliki makna spiritual mendalam, adalah penanda waktu ibadah bagi miliaran umat Muslim. Sedangkan gonggongan anjing, yang sering kali diasosiasikan dengan peringatan, kewaspadaan, atau sekadar ekspresi komunikasi hewan, mengisi ruang dengar dengan energi yang jauh berbeda.
Pertemuan kedua suara ini paling sering terjadi saat fajar atau senja, waktu di mana aktivitas manusia dan hewan sama-sama intens. Ketika muazin mengumandangkan Allahu Akbar, getaran spiritual mulai menyelimuti area. Namun, beberapa saat kemudian, atau bahkan serentak, suara anjing dari halaman tetangga atau kejauhan terdengar. Bagi sebagian orang, ini bisa menjadi gangguan minor; sebuah benturan antara yang sakral dan yang profan, antara panggilan ilahi dan panggilan naluriah hewan.
Interpretasi Budaya dan Akustik
Secara budaya, respons terhadap kedua suara ini sangat berbeda. Adzan dipandang sebagai seruan yang membawa ketenangan dan ketertiban dalam ritme harian. Sebaliknya, respons terhadap gonggongan anjing lebih bervariasi. Dalam konteks Islam, anjing seringkali dianggap sebagai hewan yang keberadaannya memerlukan perhatian khusus terkait kesucian (taharah), yang secara otomatis menciptakan dikotomi persepsi saat gonggongan tersebut bersinggungan dengan waktu shalat.
Namun, dalam perspektif ilmu akustik dan psikologi lingkungan, ini adalah studi menarik tentang bagaimana otak kita memprioritaskan dan menyaring suara. Kita cenderung memberikan bobot lebih pada suara yang memiliki makna kognitif tinggi (seperti adzan) dibandingkan suara lingkungan yang berulang atau tidak terduga (seperti gonggongan). Adzan memiliki pola melodi yang terstruktur dan dapat diprediksi, yang membantu pendengar untuk fokus. Sementara gonggongan, meskipun seringkali keras, adalah respons terhadap stimulus eksternal yang sifatnya sporadis.
Harmoni yang Tidak Disengaja
Meskipun kontrasnya jelas, banyak orang menemukan adanya harmoni yang tidak disengaja dalam kebersamaan suara ini. Di banyak kota besar yang padat, di mana rumah-rumah saling berdekatan, mustahil memisahkan ranah kehidupan spiritual dari kehidupan domestik. Kehadiran gonggongan anjing mengingatkan kita bahwa kita hidup dalam ekosistem yang kompleks, bukan hanya dalam ruang ibadah yang terisolasi.
Suara gonggongan yang memotong keheningan pagi sebelum adzan Subuh, atau yang menyertai lantunan adzan Maghrib saat matahari terbenam, menjadi semacam penanda bahwa kehidupan terus berjalan—siklus alam dan siklus spiritual berjalan paralel. Bagi seorang penduduk kota, mendengarkan adzan lalu disusul oleh suara lingkungan adalah cerminan realitas hidup modern: sebuah kanvas suara yang kaya, di mana nilai-nilai spiritual harus menemukan tempatnya di antara keramaian dan kehidupan sehari-hari yang penuh dengan suara alami maupun buatan. Ini adalah realitas multisensori yang membentuk lanskap pendengaran kolektif kita.
Mempelajari bagaimana kita memproses tumpukan suara ini membantu kita memahami adaptasi pendengaran kita. Baik itu melalui peningkatan fokus untuk menangkap panggilan suci di tengah kebisingan, atau melalui penerimaan pasif terhadap komunikasi hewan di sekitar kita, persimpangan antara adzan dan gonggongan anjing menawarkan jendela unik ke dalam cara masyarakat urban menavigasi dualitas spiritualitas dan realitas biologis.