Ilustrasi simbolis adzan
Bilal bin Rabah adalah salah satu sahabat Nabi Muhammad SAW yang paling dihormati. Kisahnya bukan hanya tentang kebebasan dari perbudakan, tetapi juga tentang keteguhan iman yang luar biasa. Sebagai Muadzin (juru adzan) pertama dalam sejarah Islam, suara Bilal menjadi penanda dimulainya ibadah, penanda waktu, dan simbol persatuan umat. Namun, di antara rentetan adzan yang ia kumandangkan, terdapat satu momen yang dikenang dengan kesedihan mendalam dan keharuman sejarah: adzan terakhirnya di hadapan Rasulullah ﷺ.
Setelah wafatnya Rasulullah ﷺ, umat Islam merasakan kehilangan yang amat besar. Kesedihan itu merambat ke setiap aspek kehidupan, termasuk rutinitas harian yang selalu dipimpin oleh suara Bilal. Kehilangan sang Nabi ﷺ memberikan beban psikologis yang tak terperikan bagi Bilal. Ia merasa bahwa ruh dari adzan itu telah hilang bersamaan dengan kepergian Rasulullah.
Setelah Nabi Muhammad ﷺ berpulang ke Rahmatullah, Bilal menunjukkan keengganan yang mendalam untuk meneruskan tugasnya sebagai muadzin di Madinah. Ia merasa bahwa adzan yang dikumandangkannya tidak lagi memiliki makna yang sama. Setiap kali ia mengucapkan "Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah" (Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah), hatinya terasa hancur. Ia melihat ke tempat biasa Nabi ﷺ berdiri untuk mendengarkan adzan, dan kekosongan itu terlalu nyata.
Para sahabat, termasuk para khalifah setelah Rasulullah, mendesak Bilal untuk kembali ke mimbar. Mereka merindukan suara yang menenangkan itu. Namun, Bilal menolak dengan lembut, menyatakan bahwa ia tidak sanggup melanjutkan tugas tersebut tanpa kehadiran beliau. Keadaan ini berlangsung cukup lama, menunjukkan betapa eratnya ikatan spiritual antara Bilal dan Rasulullah ﷺ. Adzan adalah manifestasi dari cinta dan pengabdiannya.
Momen bersejarah adzan terakhir Bilal terjadi ketika Khalifah Umar bin Khattab RA datang ke Yerusalem setelah kota itu ditaklukkan. Kehadiran Umar dan suasana pembukaan kota baru memberikan dorongan emosional bagi umat Islam di sana. Atas desakan kuat dari Khalifah Umar dan penduduk kota yang baru, Bilal akhirnya setuju untuk mengumandangkan adzan sekali lagi di Al-Quds, sebuah kota yang memiliki keistimewaan tersendiri dalam sejarah kenabian.
Ketika Bilal naik ke tempat yang dianggapnya setara dengan tempat adzan di Madinah, ia memulai panggilan suci itu. Suaranya, yang pernah begitu lantang dan menggetarkan jazirah Arab untuk memanggil shalat, kini terdengar berbeda. Ketika ia mengucapkan kalimat syahadat kedua, kota itu terdiam. Namun, ketika ia mencapai lafaz "Muhammadar Rasulullah," suasana berubah total.
Menurut riwayat, air mata mulai membasahi pipi Bilal. Suaranya yang biasanya tegas, kini pecah karena tangisan yang tak terbendung. Para sahabat yang hadir, termasuk Umar bin Khattab, ikut menangis tersedu-sedu. Mereka semua teringat akan masa-masa keemasan bersama Rasulullah ﷺ. Adzan itu bukan sekadar panggilan shalat; ia adalah rekaman kenangan yang menyakitkan namun indah tentang sosok yang mereka cintai. Setelah adzan tersebut, Bilal memutuskan bahwa ia tidak akan lagi mengumandangkan adzan dalam konteks formal, mengukuhkan momen tersebut sebagai penutup karier agungnya sebagai muadzin utama Islam.
Kisah adzan terakhir Bilal bin Rabah adalah pengingat bahwa keteguhan iman sering kali diuji oleh kehilangan. Bilal membuktikan bahwa cinta sejatinya tertuju pada Rasulullah ﷺ, melebihi bahkan tugas mulia yang diemban padanya. Meskipun ia berhenti mengumandangkan adzan secara reguler setelah kejadian itu, warisannya sebagai Muadzin Rasulullah ﷺ tetap abadi. Suara yang pernah menjadi simbol pembebasan dari perbudakan di Makkah, kini menjadi simbol kesetiaan abadi di Yerusalem.
Kisah ini terus diceritakan untuk mengajarkan kepada umat Islam tentang pentingnya mengenang dan menghormati jejak para pendahulu yang telah berjuang keras menegakkan kalimat tauhid. Bilal mengajarkan bahwa hati yang tulus akan selalu merindukan kebenaran yang pernah ia saksikan secara langsung.