Ki Seno Nugroho saat membawakan adegan punakawan.
Wayang kulit, sebuah seni pertunjukan tradisional warisan budaya tak benda UNESCO, seringkali diasosiasikan dengan kisah-kisah epik kepahlawanan seperti Ramayana dan Mahabharata. Namun, jantung dari pertunjukan wayang yang hidup dan relevan hingga kini justru terletak pada peran para punakawan. Dan di antara deretan dalang hebat, Ki Seno Nugroho menorehkan namanya sebagai maestro yang berhasil memadukan filosofi mendalam dengan gelombang tawa yang spontan dan segar.
Ki Seno Nugroho (almarhum) dikenal bukan hanya karena kemampuannya memainkan pakem dengan sempurna, tetapi juga karena keberaniannya dalam berinovasi, khususnya dalam adegan dagelan atau lawakan. Berbeda dengan beberapa pendahulunya yang mungkin lebih mengandalkan sindiran halus, lawakan Ki Seno seringkali lebih aktual, menyentuh isu-isu sosial terkini, bahkan menggunakan jargon-jargon kekinian. Inilah yang membuat pertunjukan wayangnya selalu dinanti, baik oleh penonton tua maupun generasi muda yang terbiasa dengan hiburan digital.
Karakteristik utama dari "wayang lucu Ki Seno Nugroho" adalah kemampuannya mendialogkan tokoh wayang (seperti Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong) dengan kehidupan sehari-hari. Jika Semar melambangkan kebijaksanaan yang dibungkus kesederhanaan, maka Gareng dan Bagong adalah representasi rakyat jelata yang lugas, blak-blakan, dan tidak takut mengkritik. Dialog-dialog improvisasi mereka seringkali menjadi puncak kegembiraan penonton. Mereka tidak segan menyinggung politik, tren gaya hidup, atau bahkan fenomena viral di media sosial, semua dibalut dalam bahasa Jawa yang kental namun mudah dipahami.
Punakawan, dalam tradisi wayang, berfungsi sebagai penasihat spiritual bagi kesatria dan juga sebagai "pengocok perut" penonton. Ki Seno berhasil memaksimalkan fungsi kedua ini. Ia menggunakan humor bukan hanya sebagai pengisi jeda cerita, tetapi sebagai medium penyampaian pesan moral yang lebih efektif. Ketika sebuah pesan moral disampaikan melalui celotehan Gareng yang jenaka, ia cenderung lebih mudah diterima dan meresap ke dalam benak penonton daripada nasihat yang disampaikan secara kaku.
Salah satu ciri khas yang paling ikonik adalah penggunaan teknik vokal dan ekspresi wajah wayang yang sangat hidup. Meskipun wayang kulit adalah objek mati, Ki Seno mampu memberikan "nyawa" pada setiap tokoh. Ketika Bagong berbicara dengan suara cempreng khasnya sambil menggoda penonton, atau ketika Petruk menyindir dengan nada sedikit manja, energi pertunjukan langsung melonjak. Teknik "keluwesan" ini jarang dimiliki oleh dalang lain, menjadikannya sebuah pembeda signifikan.
Meskipun intensitas kelucuannya tinggi, esensi pertunjukan Ki Seno tidak pernah lepas dari pakem pedhalangan. Inti cerita epik tetap dijaga, hanya saja transisi menuju dan dari adegan dagelan dibuat sangat mulus. Misalnya, setelah suasana menjadi sangat riuh karena lawakan, Ki Seno akan mengalirkan penonton kembali ke alur utama dengan dialog filosofis singkat dari Semar. Perubahan atmosfer mendadak ini adalah tanda penguasaan panggung yang luar biasa.
Wayang lucu Ki Seno Nugroho telah membuktikan bahwa seni tradisional dapat bertahan dan berkembang di era modern. Dengan merangkul humor kontekstual dan menjaga kualitas seni pertunjukan, Ki Seno telah mewariskan sebuah metode pengajaran budaya yang menyenangkan. Pertunjukannya adalah pengingat bahwa kebijaksanaan sejati seringkali datang dalam balutan hal yang paling sederhana dan paling membuat kita tertawa terbahak-bahak. Ia mengajarkan bahwa kritik sosial paling tajam pun bisa disampaikan tanpa harus membuat suasana menjadi tegang. Bagi para penggemar setianya, menikmati wayang Ki Seno berarti siap tertawa keras sambil merenungkan makna hidup yang disajikan dengan elegan oleh para punakawan legendaris tersebut. Warisannya terus hidup melalui rekaman digital yang hingga kini masih digandrungi jutaan penggemar di berbagai platform.