Tadabbur: Surat At-Taubah Ayat 110 - 120

Ilustrasi Keseimbangan dan Peringatan !

Surat At-Taubah, atau Surat Bara'ah, adalah salah satu surat Madaniyah yang sarat dengan pelajaran penting mengenai iman, ketaatan, dan batasan dalam interaksi sosial dan peperangan. Ayat 110 hingga 120 secara khusus menyoroti kontras antara orang-orang munafik yang mencari alasan untuk tidak berjihad (atau berjuang di jalan Allah) dan pentingnya ketulusan serta ancaman bagi mereka yang berpaling dari kebenaran.

Memahami rentang ayat ini memberikan perspektif mendalam tentang ujian keikhlasan. Allah SWT memberikan gambaran nyata tentang bagaimana hati yang dipenuhi keraguan akan selalu mencari jalan keluar yang mudah, sementara hati yang teguh akan senantiasa mencari keridhaan-Nya, meskipun harus menghadapi kesulitan.

Fokus Utama Ayat 110: Bangunan Berbasis Kemunafikan

وَاَّلَذِيْنَ اتَّخَذُوْا مَسْجِدًا اِضْرَارًا وَكُفْرًا وَّتَفْرِيْقًاۢ بَيْنَ الْمُؤْمِنِيْنَ وَاِرْصَادًا لِّمَنْ حَارَبَ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ مِنْ قَبْلُ ۗ وَلَيَحْلِفُنَّ اِنْ اَرَدْنَآ اِلَّا الْحُسْنٰى ۗ وَاللّٰهُ يmathscr{هَدُ اِنَّهُمْ لَكٰذِبُوْنَ

"Dan (di antara mereka) ada orang-orang yang membangun masjid untuk menimbulkan kemudaratan (bahaya) dan kekafiran serta untuk memecah belah antara orang-orang yang beriman, dan untuk dijadikan tempat mengintai (bagi orang-orang yang memerangi) Allah dan Rasul-Nya sejak dahulu. Mereka sungguh akan bersumpah bahwa (maksud) kami tidak lain kecuali untuk (berbuat) kebaikan. Dan Allah menyaksikan bahwa sesungguhnya mereka benar-benar pendusta." (QS. At-Taubah: 110)

Ayat 110 adalah teguran keras terhadap praktik kemunafikan yang dibungkus dengan kedok kebaikan. Mereka membangun masjid bukan untuk ibadah murni, melainkan sebagai pusat strategi untuk merusak umat Islam dari dalam, memecah belah barisan, dan menjadi pos intelijen bagi musuh Allah. Ini mengajarkan bahwa niat (niyyah) adalah inti dari setiap perbuatan. Sekalipun aktivitasnya terlihat seperti ibadah (membangun masjid), jika didasari oleh niat buruk (dharar, kufr, tafriq), maka hasilnya adalah kesesatan yang nyata. Sumpah palsu mereka untuk menutupi niat jahat adalah ciri khas dari kemunafikan yang diungkapkan oleh Allah SWT.

Peringatan Keras dan Keteguhan Iman (Ayat 111 - 113)

Selanjutnya, Allah menjelaskan hakikat transaksi antara orang beriman dengan Tuhan mereka, yaitu surga yang kekal sebagai ganti dari nyawa dan harta benda mereka yang diperjuangkan di jalan Allah (Ayat 111). Kontras dengan orang munafik, orang beriman membeli surga dengan harga tertinggi: pengorbanan diri.

Ayat 112 dan 113 menekankan empat sifat utama orang yang membeli surga tersebut: mereka adalah orang yang bertaubat, beribadah, memuji Allah (hamidun), yang melakukan perjalanan (sa’ihun), yang ruku’ (membungkuk dalam shalat), dan yang bersujud. Ayat 113 menutup dengan larangan keras bagi Nabi Muhammad SAW untuk memohonkan ampunan bagi orang musyrik, meskipun mereka adalah kerabat dekat, setelah jelas bagi mereka bahwa mereka adalah penghuni neraka. Ini menegaskan prinsip keadilan ilahi: keputusan iman dan kekafiran bersifat personal dan mutlak.

Kisah Kaum yang Mendapat Murka (Ayat 114 - 117)

Ayat 114 memberikan pengecualian dari larangan doa ampunan, yaitu untuk Nabi Ibrahim yang berdoa bagi ayahnya setelah jelas bahwa ayahnya adalah musuh Allah. Ayat 115 melanjutkan tema ini, menggambarkan siklus buruk orang yang sesat: mereka telah diberi petunjuk, tetapi kemudian memilih untuk menyimpang. Allah tidak akan menyia-nyiakan pahala orang yang berbuat baik.

Ayat 116 dan 117 adalah peringatan puncak mengenai kedaulatan Allah. Allah adalah pemilik segala sesuatu di langit dan bumi. Kekuasaan-Nya mutlak. Kemudian, ayat 117 mengecam mereka yang meminta keringanan untuk tidak ikut berjihad (perang) dengan alasan bahwa rumah mereka tidak aman (padahal rumah mereka tidak pernah dalam bahaya). Mereka hanya mencari izin untuk bermalas-malasan, dan hati mereka telah tertutup oleh kemunafikan, sehingga mereka tidak memahami kebenaran.

Janji dan Peringatan Akhir (Ayat 118 - 120)

Ayat 118 menyoroti tiga kelompok yang diampuni setelah melakukan kesalahan: mereka yang bertobat setelah menyadari kesalahannya, mereka yang terpaksa ikut serta dalam medan jihad tetapi memiliki niat yang benar, dan mereka yang mengakui dosa-dosa mereka. Ini menunjukkan rahmat Allah yang luas bagi mereka yang jujur dalam penyesalan.

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَكُوْنُوْا مَعَ الصّٰدِقِيْنَ

"Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan bersamalah dengan orang-orang yang jujur (benar)." (QS. At-Taubah: 119)

Ayat 119 menjadi seruan penutup yang sangat kuat. Allah memerintahkan kaum beriman untuk bertakwa (menjaga diri dari larangan-Nya) dan yang paling krusial, untuk **bersama orang-orang yang jujur (Ash-Shadiqin)**. Kebersamaan dengan orang-orang jujur adalah benteng pertahanan terbaik melawan kemunafikan dan keraguan. Kejujuran ini mencakup kejujuran ucapan, perbuatan, dan yang terpenting, kejujuran niat di hadapan Allah SWT.

Ayat 120 kemudian memberikan nasihat mengenai pentingnya menjaga kehormatan diri dan fokus pada perbaikan diri sendiri, karena orang-orang yang sesat tidak akan bisa menyesatkan orang lain selama mereka teguh dalam keimanan. Secara keseluruhan, rentang ayat ini (110-120) adalah cetak biru moral bagi komunitas Muslim mengenai integritas, konsekuensi dari kemunafikan, dan perlunya memilih lingkungan yang mendukung ketakwaan dan kejujuran absolut.