Dalam lembaran-lembaran Al-Qur'an, terdapat kisah-kisah yang menjadi cermin abadi bagi umat manusia. Salah satu ayat yang sangat penting dalam konteks menjaga kemurnian niat dan menghindari kemunafikan adalah Surah At-Taubah ayat 107. Ayat ini secara eksplisit menyebutkan tentang sekelompok orang yang membangun sebuah bangunan (masjid) bukan karena ketaatan kepada Allah SWT, melainkan untuk menyebarkan permusuhan dan kekafiran, serta memecah belah umat Islam.
"Dan orang-orang yang membangun masjid untuk menimbulkan bahaya (kekafiran), untuk menentang Allah dan Rasul-Nya, dan untuk memecah belah orang-orang yang beriman, serta untuk dijadikan tempat menunggu (mengintai) orang-orang yang telah memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak dahulu. Mereka bersumpah dengan sumpah paling kuat, bahwa mereka tidak menginginkan selain kebaikan. Tetapi Allah Maha Menyaksikan bahwa sesungguhnya mereka adalah pendusta."
(QS. At-Taubah: 107)Ayat ini memberikan pelajaran mendalam mengenai pentingnya niat (al-niyyah). Secara lahiriah, membangun masjid adalah perbuatan yang sangat mulia. Masjid adalah pusat ibadah, pendidikan, dan persatuan umat. Namun, At-Taubah 107 menunjukkan bahwa niat buruk dapat merusak kemuliaan suatu perbuatan di mata Allah SWT. Kelompok yang dimaksud dalam ayat ini—yang kemudian dikenal dalam sejarah Islam sebagai pembangun "Masjid Dhirar"—berpura-pura melakukan amal kebaikan (membangun tempat ibadah) untuk menutupi agenda jahat mereka.
Tujuan utama mereka bukanlah mencari keridaan Allah, melainkan tiga hal destruktif: pertama, menimbulkan bahaya dan kekafiran; kedua, menjadi markas konspirasi melawan Allah dan Rasul-Nya; dan ketiga, menciptakan perpecahan di kalangan kaum mukminin. Ini adalah studi kasus klasik tentang kemunafikan tingkat tinggi, di mana fasad kebaikan digunakan sebagai senjata untuk menghancurkan dari dalam.
Salah satu poin paling menonjol dari ayat ini adalah fokus pada upaya memecah belah umat Islam. Dalam konteks historis turunnya ayat ini, kaum munafikin ingin menciptakan pusat oposisi yang dapat menarik orang-orang beriman yang mungkin ragu-ragu, menawarkan tempat berlindung yang "sah" namun beracun. Ini mengajarkan bahwa ancaman terbesar bagi komunitas seringkali datang bukan dari musuh yang jelas di luar, melainkan dari unsur-unsur yang menyamar sebagai kawan di dalam barisan.
Allah SWT menekankan bahwa meskipun mereka bersumpah dengan janji paling kuat bahwa niat mereka murni dan hanya ingin kebaikan, Allah Maha Mengetahui rahasia yang tersembunyi. Sumpah mereka tidak berarti apa-apa karena hati mereka dipenuhi kebohongan dan permusuhan. Penegasan bahwa "Allah Maha Menyaksikan bahwa sesungguhnya mereka adalah pendusta" berfungsi sebagai peringatan keras bahwa tipu daya manusia tidak akan pernah bisa mengelabui Sang Pencipta.
Meskipun kasus spesifik Masjid Dhirar terjadi di masa Rasulullah SAW, relevansi ayat ini tetap kuat hingga kini. Ayat 107 mengingatkan kita untuk selalu kritis terhadap institusi atau gerakan apa pun yang mengklaim membawa kebaikan, namun secara konsisten menghasilkan perpecahan, fitnah, atau penyesatan akidah.
Penting untuk dicermati bahwa kritik ini bukan ditujukan pada bangunan fisik masjid secara umum, melainkan pada motif di baliknya. Sebuah tempat ibadah menjadi tercela ketika ia digunakan sebagai sarana politik yang merusak, menyebarkan kebencian sektarian, atau menjadi basis perencanaan makar terhadap prinsip-prinsip dasar ajaran Islam.
Umat Islam diajarkan untuk senantiasa mendasarkan setiap amal perbuatan pada ketulusan semata-mata karena Allah. Jika niatnya sudah bengkok—apakah itu untuk mendapatkan popularitas, keuntungan duniawi, atau keuntungan politik—maka bangunan amal tersebut, betapapun megah kelihatannya, akan menjadi fondasi yang rapuh dan pada akhirnya akan roboh di hadapan kebenaran ilahi. Surah At-Taubah ayat 107 adalah pengingat tegas bahwa kejujuran batin jauh lebih penting daripada kemegahan lahiriah dalam pandangan Allah SWT.