Allah SWT telah menurunkan Al-Qur'an sebagai petunjuk bagi umat manusia. Di antara sekian banyak ayat yang mengandung hikmah mendalam, Surah At-Taubah ayat 116 seringkali menjadi titik fokus pembahasan mengenai hakikat kehidupan, kekuasaan ilahi, dan tanggung jawab manusia terhadap kepemilikan dunia. Ayat ini merupakan pengingat keras sekaligus penegasan atas keesaan dan keabadian Allah SWT.
Teks dan Terjemahan Surah Taubah Ayat 116
Ayat ini menjadi landasan kuat dalam memahami prioritas hidup seorang Muslim:
Ayat ke-116 dari Surah At-Taubah ini pendek namun padat maknanya. Ia merupakan deklarasi tegas mengenai kedaulatan mutlak Allah SWT atas seluruh eksistensi alam semesta.
Kandungan Utama Ayat 116 Taubah
1. Kepemilikan Mutlak (Mulkussamawati wal Ard)
Frasa "Innallaha lahu mulkus samawati wal ard" (Sesungguhnya Allah jualah memiliki kerajaan langit dan bumi) menegaskan bahwa segala sesuatu yang kita lihat—mulai dari bintang terjauh hingga butiran debu di bumi—adalah milik-Nya. Manusia, bumi, kekayaan, kekuasaan, kesehatan, bahkan waktu, hanyalah titipan. Pemahaman ini menuntut kerendahan hati (tawadhu') karena segala sesuatu bersifat fana (sementara) kecuali Pemilik Sejati.
Dalam konteks kehidupan modern, ayat ini berfungsi sebagai penyeimbang terhadap keserakahan duniawi. Ketika seseorang mencapai puncak kekuasaan atau kekayaan, ayat ini mengingatkan bahwa pencapaian tersebut tidak abadi dan tidak dapat dibawa mati. Ia adalah teguran lembut agar tidak berbuat zalim atau arogan atas apa yang hakikatnya bukan miliknya sepenuhnya.
2. Pengembalian Segala Urusan (Wa Ilayhi Yurja'ul Amr Kulluh)
Bagian kedua, "Wa ilayhi yurja'ul amru kulluh" (Dan kepada-Nyalah dikembalikan segala urusan), adalah inti dari tauhid rububiyah. Ini berarti setiap keputusan, setiap peristiwa, baik yang kita anggap baik maupun buruk, pada akhirnya kembali dan dipertanggungjawabkan kepada Allah SWT. Tidak ada satu pun kejadian yang luput dari pengawasan dan kehendak-Nya.
Mengapa ini penting? Ketika seorang Muslim menghadapi musibah, kegagalan, atau ketidakadilan di dunia, ayat ini memberikan ketenangan batin (sakinah). Mereka tahu bahwa meskipun jalan keadilan dunia mungkin berliku, keputusan akhir dan penyelesaian total berada di tangan Yang Maha Adil. Sikap menerima takdir dengan lapang dada (ridha) adalah buah dari keyakinan mendalam terhadap ayat ini.
Implikasi Filosofis dan Spiritual
Ayat 116 Surah Taubah bukan sekadar informasi teologis, tetapi juga panduan praktis bagi perilaku sehari-hari. Jika Allah pemilik segalanya, maka prioritas hidup seorang mukmin harus selaras dengan kehendak Pemilik tersebut.
Menghindari Kesombongan Duniawi
Ayat ini secara implisit melarang penyembahan terhadap harta benda, jabatan, atau popularitas. Ketika seseorang merasa bahwa kesuksesannya adalah murni hasil usahanya sendiri tanpa mengakui peran Ilahi, ia telah menempatkan sesuatu selain Allah sebagai "pemilik" sementara dari usaha tersebut. Surah Taubah, secara keseluruhan, membahas tentang pemurnian iman dan pemutusan ketergantungan total kepada selain Allah, dan ayat 116 adalah landasan filosofis pemurnian tersebut.
Pentingnya Tawakkul
Pemahaman bahwa 'semua urusan dikembalikan kepada-Nya' mendorong konsep tawakkul yang benar. Tawakkul bukan berarti pasif menunggu keajaiban, melainkan berusaha sekuat tenaga, kemudian menyerahkan hasil akhirnya kepada Allah. Seorang pekerja keras yang bertawakkal akan lebih tenang dalam menghadapi hasil yang tidak sesuai harapan, karena ia sadar bahwa parameter keberhasilan sejati ditetapkan oleh Sang Pencipta.
Persiapan Akhirat
Karena dunia adalah kerajaan yang akan dikembalikan, maka investasi terbaik adalah investasi akhirat. Ayat ini mendorong umat Islam untuk tidak terlalu larut dalam menumpuk kesenangan fana. Ketika Allah SWT memanggil kembali segala urusan, yang tersisa hanyalah amal perbuatan yang telah kita tanamkan selama di dunia.
Konteks Surah Taubah
Surah At-Taubah turun setelah peristiwa Fathu Makkah (Penaklukan Mekkah) dan merupakan satu-satunya surah yang tidak diawali dengan Basmalah (kecuali dalam Mushaf tertentu), sering dikaitkan dengan pemutusan hubungan secara tegas dengan kaum musyrikin yang telah melanggar perjanjian. Dalam konteks ini, ayat 116 berfungsi sebagai penutup babak penting tersebut, menegaskan bahwa meskipun terjadi pergulatan politik dan militer, otoritas tertinggi tetap berada di tangan Allah.
Ayat ini menegaskan bahwa semua kebijakan, strategi, dan pertempuran yang dilakukan umat Islam harus berdasarkan prinsip bahwa Allah adalah penguasa tunggal. Ini memberikan landasan spiritual yang kuat bagi kepemimpinan Muslim agar tidak jatuh ke dalam jeratan kepentingan duniawi semata. Pemimpin yang mengingat ayat ini akan bertindak adil, karena ia tahu pertanggungjawabannya bukan hanya kepada rakyat, tetapi kepada Pemilik Langit dan Bumi.