Surah At-Taubah, juga dikenal sebagai Bara'ah, adalah salah satu surah terakhir yang diturunkan di Madinah. Surah ini kaya akan pelajaran mengenai peperangan, perjanjian, dan yang terpenting, kedudukan seorang mukmin dalam menghadapi ujian berat dan tanggung jawab sosial. Di tengah pembahasan mengenai dinamika hubungan antara kaum Muslimin dan pihak-pihak yang menentang, terdapat ayat-ayat yang memberikan landasan moral dan spiritual yang tak lekang oleh waktu.
Salah satu landasan tersebut terdapat pada ayat ke-120. Ayat ini sering kali dikutip sebagai penegasan prinsip bahwa ketaatan sejati kepada Allah dan Rasul-Nya harus didasarkan pada niat yang murni dan tidak dicemari oleh kesenangan duniawi yang fana. Pemahaman mendalam terhadap Surah At-Taubah ayat 120 adalah kunci untuk menstabilkan hati seorang Muslim dalam menjalankan tugas kekhalifahannya.
Ayat ini menekankan konsekuensi dari tindakan yang dilakukan dengan niat tersembunyi atau kesenangan sesaat yang bertentangan dengan perintah Ilahi. Berikut adalah teks aslinya diikuti dengan terjemahannya:
Ayat 120 turun dalam konteks pentingnya dukungan total komunitas Muslim terhadap kepemimpinan Nabi Muhammad SAW, khususnya dalam situasi yang menuntut pengorbanan fisik dan materiil, seperti saat ekspedisi militer atau dakwah besar. Allah SWT menegaskan bahwa menjadi pengikut sejati Rasul berarti menempatkan prioritas Rasul di atas kenyamanan dan kesenangan pribadi.
Larangan untuk "berpaling" atau "lebih memilih diri sendiri daripada diri Rasul" adalah peringatan keras terhadap kemunafikan terselubung. Seringkali, seseorang mungkin terlihat hadir secara fisik, namun hatinya tertambat pada keamanan rumah, bisnis, atau kenyamanan keluarganya hingga ia enggan berpartisipasi penuh dalam perjuangan yang diperintahkan Allah. Ayat ini mengindikasikan bahwa meninggalkan kewajiban kolektif demi kesenangan pribadi adalah bentuk kemunduran spiritual yang harus dihindari oleh penduduk Madinah dan kaum Badui yang menjadi inti kekuatan Islam saat itu.
Bagian kedua ayat ini adalah penegasan janji Allah SWT kepada mereka yang berjuang dengan pengorbanan sejati. Kehausan (ظمأ), keletihan (نصب), dan kelaparan (مخماصة) yang mereka rasakan di jalan Allah bukanlah kerugian, melainkan investasi spiritual. Bahkan tindakan sekecil apa pun—seperti menginjak tanah yang membuat marah musuh (melalui keberadaan mereka) atau menghadapi ancaman dari musuh—semuanya dicatat sebagai amal saleh. Ini mengajarkan bahwa intensitas kesulitan sejalan dengan besarnya pahala yang dijanjikan.
Imam-imam tafsir menjelaskan bahwa konsep "amal saleh" di sini sangat luas. Ia mencakup kesabaran, keikhlasan, dan keteguhan hati. Ketika seseorang menanggung kesulitan dengan mengharap ridha Allah, setiap tetes keringatnya menjadi pahala yang berlipat ganda. Janji Allah bahwa Ia "tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik" (المحسنين) berfungsi sebagai motivasi tertinggi.
Meskipun ayat ini memiliki konteks sejarah spesifik terkait kehidupan awal Islam, pelajaran intinya sangat relevan hingga hari ini. Perjuangan di jalan Allah kini bermanifestasi dalam bentuk perjuangan melawan hawa nafsu, penyebaran ilmu yang benar, atau menegakkan keadilan sosial di tengah tantangan kemudahan modern. Ayat Surah At-Taubah 120 menuntut kita untuk melakukan introspeksi: Apakah prioritas kita saat ini sejalan dengan panggilan Allah, ataukah kita cenderung lebih memilih "kenyamanan pribadi" (نفسه) daripada mengutamakan kewajiban agama dan sosial?
Prinsip yang ditekankan adalah keikhlasan dalam tindakan. Setiap amal, sekecil apa pun, akan bernilai jika didasari oleh kerelaan berkorban dan berorientasi pada kesempurnaan (ihsan). Dengan demikian, Surah At-Taubah ayat 120 menjadi pengingat abadi bahwa ketaatan otentik tidak diukur dari kemudahan yang diperoleh, melainkan dari kesediaan untuk melepaskan kesenangan demi meraih keridhaan Ilahi yang kekal.
Memahami makna di balik janji pahala yang besar ini membantu seorang Muslim untuk tetap teguh dalam menghadapi tantangan dakwah kontemporer, di mana godaan untuk bersikap moderat (bahkan menjadi pasif) demi menjaga popularitas atau kenyamanan sangatlah kuat. Ketegasan dalam ayat ini mendorong umat untuk menjadi pembaharu yang rela berkorban, bukan sekadar penonton yang nyaman.