Surah At-Taubah, yang dikenal sebagai "Surah Penyesalan" atau "Surah Pernyataan Pemutusan Hubungan," membawa banyak pelajaran penting bagi umat Islam, terutama mengenai keikhlasan, kejujuran, dan konsekuensi dari setiap perbuatan. Salah satu ayat yang sering menjadi sorotan karena menekankan dimensi aksi nyata dalam beragama adalah ayat ke-105.
Ayat ini merupakan pengingat kuat bahwa klaim keimanan harus dibuktikan melalui amal perbuatan nyata di dunia ini, bukan sekadar ucapan lisan atau keyakinan yang pasif. Dalam konteks Islam, iman dan amal adalah dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan.
"Dan katakanlah (Muhammad), ‘Bekerjalah (beramallah) kalian, maka Allah akan melihat pekerjaanmu itu, begitu pula Rasul-Nya dan orang-orang mukmin, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Maha Mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu Dia memberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.’"
Ayat 105 ini unik karena menyebutkan tiga entitas yang akan menyaksikan dan menilai amal perbuatan kita: Allah SWT, Rasul-Nya (Nabi Muhammad SAW), dan orang-orang mukmin (umat Islam yang saleh).
Ini adalah pengawasan tertinggi. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu, baik yang tampak (syahadah) maupun yang tersembunyi (ghaib). Kesaksian Allah adalah kepastian mutlak atas kualitas dan keikhlasan setiap tindakan. Seorang hamba harus selalu sadar bahwa tidak ada niat sekecil apapun yang luput dari pandangan-Nya.
Kesaksian Rasulullah SAW di sini berfungsi sebagai validasi terhadap kesesuaian amal tersebut dengan ajaran dan tuntunan yang dibawanya. Amalan yang dilakukan harus selaras dengan Sunnah. Jika suatu perbuatan diklaim baik namun bertentangan dengan petunjuk Nabi, maka kesaksian beliau akan menolaknya.
Kehadiran "orang-orang mukmin" sebagai saksi memberikan dimensi sosial dan korektif. Ini mendorong transparansi dan rasa malu (dalam artian positif) untuk tidak melakukan kemaksiatan di hadapan saudara seiman. Selain itu, kesaksian mereka juga berfungsi untuk menegakkan nilai-nilai komunitas dan mendorong amar ma’ruf nahi munkar.
Perintah "Beramallah" dalam ayat ini bersifat umum dan mendesak. Kata kerja perintah (fi'il amr) ini mencakup semua aspek kehidupan: ibadah ritual (salat, puasa, zakat), muamalah (interaksi sosial, bisnis, pemerintahan), dan jihad. Islam adalah agama yang paripurna, menuntut umatnya untuk menjadikan setiap aktivitas sebagai ibadah yang bernilai pahala.
Ayat ini secara implisit menolak sikap fatalisme atau hanya mengandalkan rahmat tanpa usaha. Keimanan yang sejati harus diwujudkan melalui usaha sungguh-sungguh. Jika seseorang mengaku beriman tetapi bermalas-malasan dalam mencari rezeki, menelantarkan keluarga, atau lalai dalam kewajiban sosialnya, maka klaim imannya patut dipertanyakan oleh ayat ini.
Bagian akhir ayat, "wa satūrrūna ilā ‘ālimil-gaibi wash-shahādati fa yunabbi’ukum bimā kuntum ta’malūn," menegaskan bahwa semua pertanggungjawaban akan berakhir kembali kepada Allah, Sang Maha Mengetahui segalanya. Tidak ada ruang untuk manipulasi atau penyembunyian hasil akhir. Pada hari penghisaban, Allah akan memberitakan secara rinci setiap apa yang telah dikerjakan, baik yang sekecil debu maupun yang sebesar gunung.
Ini adalah motivasi tertinggi bagi seorang mukmin. Mengetahui bahwa amal akan diperiksa oleh Tiga Pihak, dan hasilnya akan diumumkan di hadapan Allah SWT, seharusnya mendorong setiap muslim untuk senantiasa meningkatkan kualitas niat dan pelaksanaan dalam setiap perbuatannya. Surah At-Taubah 105 adalah panggilan untuk hidup secara sadar dan produktif, menjadikan dunia sebagai ladang amal sebelum menghadapi perhitungan akhir.