Al-Qur'an adalah petunjuk komprehensif bagi umat manusia. Di antara sekian banyak ayat yang mengandung pelajaran mendalam, Surat At-Taubah menyajikan beberapa ayat krusial yang sering menjadi perbincangan para ulama, khususnya ayat ke-9 dan ke-105. Kedua ayat ini, meskipun berbeda konteks, memiliki benang merah kuat mengenai tanggung jawab seorang mukmin terhadap amal perbuatannya dan konsekuensi logis dari usaha yang dilakukan.
QS. At-Taubah Ayat 9: Peringatan Keras Terhadap Pengkhianatan
Ayat ke-9 dari Surat At-Taubah sering kali dibahas dalam konteks peringatan keras terhadap sikap munafik atau mereka yang tidak menepati janji, terutama dalam konteks peperangan dan kesetiaan kepada Allah dan Rasul-Nya.
Ayat ini secara spesifik mengkritik praktik jahiliyah (sebelum Islam) yaitu *an-Nasi'*, yakni menunda atau memindahkan bulan haram (bulan suci) agar sesuai dengan perhitungan perang mereka. Inti pelajaran dari ayat 9 adalah bahwa penyimpangan sekecil apa pun dari batasan syariat—yang ditetapkan oleh Allah—akan berujung pada peningkatan kekafiran. Ketika manusia mulai mengatur-atur hukum Tuhan demi kepentingan hawa nafsu dan duniawi, mereka telah menukar kebenaran dengan kesesatan yang dibungkus indah oleh setan. Ini adalah peringatan keras tentang bahaya mengikuti hawa nafsu dalam beragama.
QS. At-Taubah Ayat 105: Amal Perbuatan Diperhitungkan
Jika ayat sebelumnya menyoroti bahaya penyimpangan keyakinan dan perbuatan, ayat 105 memberikan penekanan mendasar mengenai pertanggungjawaban akhirat, di mana setiap usaha akan dinilai secara adil.
Ayat 105 ini adalah penyemangat sekaligus penegasan prinsip utama dalam Islam: **amal adalah segalanya**. Kalimat perintah "Bekerjalah kamu" (I'malu) menunjukkan bahwa Islam sangat menghargai usaha nyata, bukan hanya niat semata. Yang membuat ayat ini unik adalah penekanan bahwa pekerjaan tersebut akan disaksikan oleh tiga entitas: Allah (sebagai saksi tertinggi), Rasulullah, dan kaum mukminin.
Pentingnya Tiga Saksi
Kesaksian Allah adalah mutlak, Dia mengetahui isi hati dan niat tersembunyi. Kesaksian Rasulullah (yang ajarannya menjadi standar kebenaran) memastikan bahwa pekerjaan tersebut sesuai sunnah. Sementara kesaksian orang-orang mukmin (masyarakat) memastikan bahwa amal tersebut membawa manfaat sosial dan tidak merugikan komunitas.
Pada akhirnya, semua pekerjaan akan dikembalikan kepada Allah, Sang Maha Mengetahui yang gaib dan yang nyata. Ayat ini menegaskan bahwa tidak ada satu pun usaha, baik yang terlihat maupun yang tersembunyi di dalam hati, yang luput dari perhitungan. Konsekuensi dari ayat 9 (penolakan terhadap batasan ilahi) akan berhadapan langsung dengan konsekuensi dari ayat 105 (pertanggungjawaban total atas setiap amal).
Korelasi dan Relevansi Kontemporer
QS. At-Taubah ayat 9 dan 105 memberikan kerangka moralitas yang kokoh. Ayat 9 memperingatkan kita agar tidak menjadi pengikut hawa nafsu yang berani mengubah aturan ilahi demi kepentingan sesaat—sebuah peringatan yang relevan di era modern ketika banyak nilai-nilai yang coba diubah demi tren atau keuntungan materi. Sementara itu, ayat 105 mengingatkan bahwa setiap tindakan, seberapa kecil pun, pasti terekam dan akan dipertanggungjawabkan.
Seorang muslim dituntut untuk bekerja keras (ayat 105) namun bekerja sesuai dengan batasan yang telah ditetapkan (menjauhi pola pikir ayat 9). Integritas dalam beramal berarti pekerjaan kita harus benar secara substansi (sesuai petunjuk Allah) dan dilakukan dengan penuh kesadaran bahwa kita sedang diamati oleh Yang Maha Melihat. Dengan memahami kedua ayat ini, seorang mukmin termotivasi untuk memperbaiki kualitas amal hariannya, menjauhi tipu daya dunia, dan mempersiapkan diri untuk hisab yang pasti datang. Perpaduan antara peringatan keras terhadap penyimpangan dan dorongan untuk beramal saleh menjadikan Surat At-Taubah sebagai sumber inspirasi keteguhan iman yang abadi.
Wallahu a'lam bishawab.