Sebuah representasi visual tentang kedamaian batin.
Bahagia. Kata yang sederhana, namun maknanya sedalam samudra. Apa sebenarnya yang dimaksud dengan pengertian bahagia? Apakah ia merupakan sebuah tujuan akhir yang harus dicapai, atau sekadar serangkaian momen kecil yang kita sadari saat itu juga? Dalam masyarakat modern yang serba cepat, pencarian kebahagiaan sering kali disamakan dengan pencapaian eksternal: harta benda, jabatan tinggi, atau validasi dari orang lain. Namun, filsuf dan psikolog kontemporer sepakat bahwa kebahagiaan sejati berakar jauh di dalam diri.
Secara etimologis, bahagia sering dikaitkan dengan keberuntungan atau nasib baik. Namun, dalam konteks psikologis, kebahagiaan (sering disebut sebagai Subjective Well-Being/Kesejahteraan Subjektif) adalah evaluasi pribadi seseorang terhadap kehidupannya. Ini melibatkan komponen emosional (seperti sering merasakan emosi positif dan jarang emosi negatif) dan komponen kognitif (kepuasan hidup secara keseluruhan). Penting untuk ditekankan, bahagia bukanlah berarti hidup tanpa masalah. Manusia pasti akan menghadapi tantangan, kesedihan, dan kegagalan.
Jika kita mendefinisikan bahagia sebagai ketiadaan rasa sakit, maka kita menetapkan standar yang mustahil untuk dipenuhi. Sebaliknya, kemampuan untuk menghadapi kesulitan dengan ketahanan (resiliensi) dan menemukan makna dalam perjuangan itulah yang seringkali menjadi fondasi kebahagiaan yang kokoh dan berkelanjutan.
Psikologi positif membagi kebahagiaan menjadi dua kategori utama yang sering dibahas: Hedonia dan Eudaimonia.
Kebahagiaan hedonik berpusat pada kenikmatan sesaat dan perasaan senang. Ini adalah euforia setelah mendapatkan hadiah, menikmati makanan lezat, atau tertawa lepas bersama teman. Emosi positif ini penting karena memberikan "bumbu" dalam kehidupan sehari-hari. Namun, sifatnya cenderung sementara dan membutuhkan stimulan eksternal yang berkelanjutan agar bisa dirasakan.
Istilah ini berasal dari filsafat Yunani kuno, yang kurang lebih berarti "hidup yang berkembang" atau "hidup yang bermakna". Eudaimonia melibatkan penggunaan kekuatan dan bakat diri sendiri untuk mencapai tujuan yang lebih besar dari diri sendiri. Ini adalah kepuasan mendalam yang muncul dari kontribusi, pertumbuhan pribadi, dan menjalani hidup sesuai dengan nilai-nilai inti yang diyakini. Contohnya adalah menjadi sukarelawan, menguasai keterampilan baru yang menantang, atau membesarkan anak dengan penuh kesadaran. Kebahagiaan jenis inilah yang terbukti memberikan dampak jangka panjang pada kualitas hidup.
Untuk menggeser fokus dari pencarian eksternal menuju apresiasi internal, praktik seperti bersyukur dan kesadaran penuh menjadi kunci. Bersyukur secara aktif melatih otak kita untuk fokus pada apa yang sudah kita miliki, bukan pada apa yang kurang. Penelitian menunjukkan bahwa orang yang rutin menulis jurnal syukur melaporkan tingkat kepuasan hidup yang lebih tinggi.
Sementara itu, mindfulness—praktik memperhatikan momen saat ini tanpa menghakimi—membantu kita melepaskan kecemasan tentang masa depan atau penyesalan masa lalu. Ketika kita benar-benar hadir, kita dapat merasakan keindahan sederhana dalam rutinitas: secangkir kopi hangat, sinar matahari pagi, atau keheningan sejenak. Inilah definisi sederhana dari kebahagiaan yang dapat diakses kapan saja.
Pada akhirnya, pengertian bahagia adalah sebuah perjalanan personal yang dinamis. Ia bukanlah titik akhir statis, melainkan sebuah cara untuk menavigasi hidup. Membangun kebahagiaan yang tahan lama memerlukan usaha yang seimbang: menikmati kesenangan hedonik secukupnya, namun mendedikasikan energi terbesar untuk tujuan eudaimonik, memperkuat hubungan sosial yang bermakna, dan secara konsisten mempraktikkan rasa syukur. Kebahagiaan ada dalam keseimbangan antara penerimaan diri dan dorongan untuk tumbuh.
Maka, daripada bertanya, "Kapan saya akan bahagia?", mungkin pertanyaan yang lebih baik adalah, "Apa yang bisa saya lakukan saat ini untuk menghargai momen ini dan bergerak menuju tujuan yang saya yakini?" Jawaban atas pertanyaan tersebut seringkali membawa kita semakin dekat ke inti kebahagiaan sejati.
Salah satu mitos terbesar adalah bahwa uang membeli kebahagiaan. Studi menunjukkan bahwa uang memang meningkatkan kebahagiaan hingga batas tertentu—yaitu, cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar dan hidup nyaman tanpa stres finansial kronis. Setelah kebutuhan dasar terpenuhi, peningkatan pendapatan tidak lagi memberikan peningkatan kebahagiaan yang signifikan. Fokus pada pengalaman, bukan barang, terbukti memberikan kebahagiaan yang lebih tahan lama dibandingkan kepemilikan materi.
Mitos lain adalah bahwa kita terprogram untuk tingkat kebahagiaan tertentu (set point). Meskipun kita memiliki kecenderungan bawaan, adaptasi hedonik—kecenderungan untuk cepat terbiasa pada hal baik—bisa diatasi. Dengan sengaja dan rutin melakukan tindakan pro-bahagia (seperti berbuat baik atau memelihara hubungan), kita bisa secara aktif menaikkan rata-rata kebahagiaan kita di atas titik awal bawaan tersebut.
Kebahagiaan bukan hanya tentang perasaan meluap-luap; ia juga tentang kedamaian batin, rasa syukur atas apa yang ada, dan komitmen untuk menjalani hidup yang sesuai dengan nilai diri.