Ilustrasi Musaqah: Dua tangan bekerja sama di bawah tanaman subur Kerjasama Produktif

Musaqah Adalah: Definisi dan Landasan Hukumnya

Dalam khazanah fikih Islam, terdapat berbagai jenis akad atau perjanjian yang mengatur hubungan ekonomi antarmanusia. Salah satu akad yang secara historis sangat penting, terutama dalam konteks pertanian di Timur Tengah, adalah Musaqah. Memahami apa itu musaqah adalah kunci untuk mengerti bagaimana Islam mengatur kerjasama dalam bidang agrikultur.

Secara etimologis, Musaqah (المساقاة) berasal dari kata saqā yang berarti menyiram atau memberi minum. Dalam terminologi syariat, Musaqah adalah bentuk perjanjian kerjasama antara pemilik lahan (malik) dan penggarap ('āmil), di mana pemilik lahan menyerahkan kebun atau pohon buah-buahan yang telah menghasilkan kepada penggarap untuk dirawat dan dipanen. Sebagai imbalannya, penggarap berhak mendapatkan sebagian hasil panen yang telah disepakati bersama.

Perbedaan Mendasar dengan Mukhabarah dan Muzara'ah

Musaqah seringkali disandingkan dengan akad kerjasama pertanian lainnya seperti Mukhabarah dan Muzara'ah. Perbedaan utamanya terletak pada objek perjanjian dan kontribusi masing-masing pihak:

Inti dari Musaqah adalah penekanan pada perawatan pohon buah. Penggarap bertanggung jawab penuh atas pemeliharaan pohon, mulai dari penyiraman, pemupukan, hingga pengawasan hama, dengan harapan pohon tersebut dapat berbuah maksimal.

Landasan Hukum Musaqah dalam Islam

Hukum asal Musaqah adalah mubah (diperbolehkan) berdasarkan tradisi praktik yang sudah ada sejak zaman Nabi Muhammad SAW dan dilanjutkan oleh para Sahabat. Keabsahan akad ini didasarkan pada:

1. Praktik Nabi Muhammad SAW

Terdapat riwayat bahwa Rasulullah SAW pernah melakukan akad kerjasama semacam ini. Salah satu dalil paling masyhur adalah ketika beliau bermusabaqah (berlomba) dengan seorang Yahudi di Madinah untuk pengelolaan tanah Khaibar, meskipun dalam bentuk yang lebih spesifik. Namun, yang lebih relevan adalah kebiasaan sahabat yang terus melakukannya.

2. Hadis dari Ibnu Umar RA

Diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW telah menjadikan penduduk Khaibar bekerja sama dalam menggarap tanah mereka dengan sistem bagi hasil dari buah-buahan dan hasil bumi lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa Nabi membiarkan dan bahkan melegitimasi praktik pembagian hasil pertanian dengan metode tertentu.

3. Kemaslahatan Umat

Musaqah menjadi solusi ekonomi yang sangat efektif, terutama di daerah yang tanahnya subur namun pemiliknya tidak memiliki waktu atau keahlian untuk merawatnya secara intensif. Akad ini mendorong produktivitas lahan tanpa mematikan hak milik.

Rukun dan Syarat Sah Musaqah

Agar akad Musaqah sah secara syariat dan mengikat kedua belah pihak, harus terpenuhi beberapa rukun dan syarat:

  1. Adanya Objek Akad: Pohon buah-buahan yang sudah mapan (bukan bibit baru) dan sudah terbukti mampu berbuah.
  2. Adanya Dua Pihak yang Berakad: Pemilik lahan (yang berhak atas pohon) dan Penggarap (yang bertanggung jawab merawat). Keduanya harus cakap hukum (baligh dan berakal).
  3. Kesepakatan Jelas (Ijab Qabul): Pernyataan setuju yang jelas mengenai akad Musaqah.
  4. Penentuan Bagian Hasil (Nishbah): Ini adalah syarat paling krusial. Bagi hasilnya harus ditentukan secara persentase yang jelas (misalnya, 50% untuk pemilik dan 50% untuk penggarap) dan tidak boleh dalam bentuk takaran tetap (misalnya, 100 kg kurma). Menetapkan takaran tetap berisiko menjadi riba jika hasil panen ternyata kurang dari takaran tersebut.
  5. Jangka Waktu: Akad harus memiliki batas waktu yang jelas, biasanya hingga masa panen berakhir atau ditentukan berdasarkan tahun.

Implikasi Ekonomi dan Sosial

Musaqah adalah bentuk penerapan prinsip keadilan distribusi dalam Islam. Ia memastikan bahwa: (1) Pemilik modal (lahan) mendapatkan imbalan atas asetnya; (2) Tenaga kerja (penggarap) mendapatkan haknya yang setimpal atas jerih payahnya. Ketika kedua belah pihak bekerja sama dengan niat baik dan proporsi bagi hasil yang adil, Musaqah dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat agraris, mendorong optimalisasi lahan, dan mengurangi potensi perselisihan di kemudian hari, asalkan syarat-syarat fikihnya dipenuhi dengan ketat.