Mobil Pakai Pertalite: Dilema Konsumen dan Dampaknya pada Performa Mesin

Ilustrasi Pom Bensin dan Mobil Pertalite Kendaraan Anda

Keputusan untuk mengisi bahan bakar kendaraan dengan Pertalite, yang merupakan Bahan Bakar Minyak (BBM) dengan angka oktan (RON) 90, seringkali menjadi pertimbangan utama bagi banyak pemilik mobil di Indonesia. Faktor harga yang lebih terjangkau dibandingkan dengan Pertamax (RON 92) atau jenis BBM dengan oktan yang lebih tinggi, mendorong sebagian pengemudi untuk memilih opsi subsidi ini, meskipun spesifikasi mobil mereka mungkin dirancang untuk oktan yang lebih tinggi.

Secara umum, penggunaan BBM yang tidak sesuai dengan rekomendasi pabrikan dapat menimbulkan serangkaian konsekuensi. Pertalite diciptakan untuk mesin dengan rasio kompresi yang lebih rendah. Ketika mesin dengan rasio kompresi tinggi dipaksa menggunakan Pertalite, risiko ngelitik atau knocking menjadi lebih besar. Fenomena ini terjadi karena campuran udara dan bahan bakar terbakar terlalu dini akibat tekanan dan suhu kompresi yang tinggi, sebelum busi memercikkan api.

Dampak Penggunaan Pertalite pada Mesin Modern

Mesin-mesin modern, terutama yang dilengkapi dengan teknologi turbocharger atau memiliki kompresi di atas 10:1, sangat sensitif terhadap oktan bahan bakar. Jika mobil "rekomendasi Pertamax" dipaksa menggunakan Pertalite secara terus-menerus, ECU (Engine Control Unit) akan bekerja ekstra keras untuk menyesuaikan waktu pengapian (timing ignition) agar mencegah kerusakan parah.

Banyak pemilik mobil yang merasa tertarik karena selisih harga per liter memang signifikan. Jika dalam sebulan mereka menghabiskan Rp 1.000.000 untuk Pertamax, beralih ke Pertalite mungkin bisa menghemat sekitar Rp 100.000 hingga Rp 150.000, tergantung harga saat ini dan volume konsumsi.

Kapan Mobil Boleh Pakai Pertalite?

Kunci utama dalam menentukan boleh atau tidaknya menggunakan Pertalite terletak pada buku manual kendaraan Anda. Jika pabrikan secara eksplisit merekomendasikan minimal RON 90 (atau setara dengan Pertalite), maka penggunaan bahan bakar ini aman dan ekonomis.

Namun, jika rekomendasi minimum adalah RON 92 atau lebih tinggi, maka Pertalite hanya disarankan dalam kondisi darurat atau sangat jarang. Penggunaan sesekali mungkin tidak menimbulkan efek jangka pendek yang signifikan, terutama jika mobil memiliki sistem manajemen mesin yang canggih dan mampu beradaptasi.

Lalu, bagaimana dengan mobil diesel? Perlu dicatat bahwa isu oktan ini hanya berlaku untuk mesin bensin. Untuk mesin diesel, yang menjadi pertimbangan adalah kandungan Cetane Number (CN), bukan RON. Mobil diesel umumnya menggunakan Biosolar (CN 48) atau Dexlite (CN 51) dan Pertalite tidak relevan untuk mesin tipe ini.

Mengatasi Dampak Negatif Jika Terlanjur Menggunakan Pertalite

Jika Anda terlanjur mengisi Pertalite pada mobil oktan tinggi dan merasakan gejala ngelitik atau penurunan performa, ada beberapa langkah yang bisa diambil:

  1. Segera Isi Ulang dengan Oktan Tinggi: Setelah tangki BBM tersisa seperempat, segera isi penuh dengan Pertamax atau BBM oktan yang sesuai. Ini akan menaikkan rata-rata oktan campuran di dalam tangki.
  2. Gunakan Additive (Peningkat Oktan): Beberapa produk aditif dapat dicampurkan untuk sedikit menaikkan RON campuran. Namun, ini hanya solusi sementara.
  3. Periksa Sensor Knocking: Jika gejala berlanjut setelah beralih ke oktan yang benar, ada baiknya membawa mobil ke bengkel resmi untuk memeriksa apakah sensor knocking (knocking sensor) telah mendeteksi dan mencatat adanya detonasi yang merugikan.

Kesimpulannya, meskipun Pertalite menawarkan keuntungan finansial yang jelas di awal, pertimbangan kesehatan jangka panjang mesin mobil Anda seharusnya menjadi prioritas utama. Menghemat biaya BBM Rp 100.000 per bulan mungkin tidak sepadan dengan potensi biaya perbaikan mesin di masa depan akibat pembakaran yang tidak optimal.

Selalu prioritaskan spesifikasi yang ditetapkan oleh pabrikan. Efisiensi sejati berasal dari harmonisasi antara mesin dan bahan bakar yang digunakan.