Ancaman Nyata: Kerusakan Lingkungan di Nusa Dua dan Tanjung Benoa, Kabupaten Badung, Bali

Ekosistem Terancam

Representasi visual: Kerusakan pesisir dan ekosistem laut.

Kawasan Nusa Dua dan Tanjung Benoa di Kabupaten Badung, Bali, dikenal sebagai ikon pariwisata internasional. Kawasan ini menawarkan keindahan pantai, resor mewah, serta aktivitas bahari yang mendunia. Namun, di balik gemerlap industri pariwisata tersebut, tersembunyi ancaman serius berupa kerusakan nusa dua benoa yang menggerogoti aset alam Bali yang berharga ini.

Dampak Pembangunan Infrastruktur yang Masif

Pertumbuhan sektor perhotelan dan infrastruktur pendukung di kedua wilayah ini telah berlangsung secara eksponensial. Meskipun pembangunan membawa devisa, dampaknya terhadap daya dukung lingkungan seringkali diabaikan. Pembangunan yang tidak terkontrol seringkali berujung pada reklamasi pantai yang tidak ramah lingkungan dan perubahan garis pantai alami. Penimbunan area pesisir untuk perluasan lahan hotel atau fasilitas pendukung telah mengurangi area vital bagi biota laut dan mengurangi kemampuan pantai untuk menyerap energi gelombang, meningkatkan risiko abrasi.

Abrasi atau pengikisan pantai adalah masalah kronis di beberapa titik Tanjung Benoa. Beberapa upaya penanganan seringkali dilakukan dengan cara yang bersifat sementara, seperti penumpukan batu besar (revetment) yang justru dapat mengubah pola arus laut dan merusak habitat di sekitarnya. Konservasi terumbu karang, yang merupakan benteng alami pantai, turut terganggu oleh sedimentasi akibat aktivitas konstruksi dan pembuangan limbah yang tidak terkelola dengan baik.

Krisis Pengelolaan Limbah dan Erosi Kualitas Air

Salah satu isu paling mendesak terkait merusaka nusa dua benoa adalah pengelolaan limbah. Dengan kepadatan turis dan populasi yang tinggi, volume limbah domestik dan hotel sangat besar. Meskipun beberapa area telah memiliki instalasi pengolahan air limbah (IPAL), efektivitas dan jangkauannya masih dipertanyakan. Jika air limbah yang tidak terolah dengan sempurna dibuang ke laut, ini menyebabkan eutrofikasi—peningkatan nutrisi yang memicu pertumbuhan alga berlebih—yang pada gilirannya mengurangi kadar oksigen terlarut, mengancam kehidupan ikan dan terumbu karang.

Kualitas air laut di zona pariwisata menjadi indikator kesehatan ekosistem. Penurunan kejernihan air tidak hanya merugikan estetika pantai tetapi juga mengganggu ekosistem bawah laut yang menjadi daya tarik utama wisata bahari, seperti *watersport* di Tanjung Benoa. Ketika ekosistem laut melemah akibat polusi, kemampuan kawasan tersebut untuk menarik wisatawan dalam jangka panjang akan menurun drastis.

Ancaman Terhadap Ekosistem Pesisir dan Mangrove

Kawasan Kabupaten Badung memiliki ekosistem pesisir yang rapuh. Di beberapa area yang berbatasan dengan Nusa Dua dan Benoa, keberadaan hutan mangrove yang berfungsi sebagai penahan abrasi dan tempat pemijahan ikan semakin terdesak oleh perluasan kawasan terbangun. Hilangnya mangrove berarti hilangnya pertahanan alami pantai dari badai dan gelombang tinggi, sekaligus mengurangi keanekaragaman hayati lokal.

Mengatasi kerusakan ini membutuhkan pendekatan holistik. Pemerintah daerah dan pengelola kawasan harus memperketat regulasi tata ruang, memastikan bahwa setiap izin pembangunan memperhatikan analisis dampak lingkungan (AMDAL) secara ketat, bukan hanya sebagai formalitas. Edukasi kepada pelaku industri pariwisata mengenai praktik ramah lingkungan, seperti pengelolaan limbah mandiri yang efektif dan penggunaan sumber daya yang bijak, adalah krusial.

Bali telah lama bergantung pada citra alamnya yang lestari. Jika kerusakan di jantung pariwisata seperti Nusa Dua dan Tanjung Benoa terus dibiarkan, maka narasi tentang surga tropis akan memudar. Pemulihan ekosistem bukan sekadar biaya operasional, melainkan investasi vital untuk keberlangsungan ekonomi pariwisata Bali di masa depan. Tindakan nyata untuk mengatasi kerusakan nusa dua benoa harus segera menjadi prioritas utama sebelum kerugian yang ditimbulkan menjadi permanen dan tak terpulihkan.