Daerah Kerobokan, yang terletak di selatan Bali, sering kali dikaitkan dengan perkembangan infrastruktur dan pusat perbelanjaan modern. Namun, jauh di balik gemerlapnya kawasan komersial tersebut, tersembunyi area pedesaan yang masih mempertahankan akar pertaniannya. Salah satu istilah yang mungkin terdengar asing namun akrab bagi masyarakat lokal adalah "Kedampang Kerobokan." Istilah ini merujuk pada sebuah sub-wilayah atau bagian dari areal persawahan yang memiliki karakteristik geografis unik di tengah perkembangan pesat Badung.
Signifikansi Kedampang dalam Konteks Bali
Dalam bahasa Bali, "dampang" bisa merujuk pada area yang agak menurun atau cekungan, seringkali menjadi tempat berkumpulnya air hujan atau sisa irigasi. Menggabungkannya dengan "Kerobokan" menegaskan lokasinya. Kedampang Kerobokan adalah saksi bisu transformasi Bali. Dulunya, wilayah ini adalah bentangan sawah hijau subur yang menjadi urat nadi ketahanan pangan lokal. Sistem irigasi subak yang terintegrasi memastikan air mengalir merata dari hulu ke hilir, menjaga kesuburan tanah yang sangat penting bagi pertanian padi.
Keberadaan area persawahan di tengah kepadatan kawasan seperti Kerobokan dan sekitarnya (misalnya dekat Umalas atau Seminyak) menunjukkan betapa gigihnya masyarakat setempat mempertahankan warisan agraris mereka. Di banyak tempat lain di Bali Selatan, sawah telah bertransformasi menjadi vila, hotel, atau perumahan mewah. Namun, Kedampang Kerobokan seringkali menjadi kantong-kantong terakhir di mana petani masih dapat mengolah lahan mereka, meskipun tantangan seperti penyempitan lahan dan perubahan tata ruang semakin nyata.
Harmoni Teknologi dan Tradisi Agraris
Mengunjungi Kedampang Kerobokan hari ini menawarkan sebuah kontras visual yang menarik. Di kejauhan, mungkin terlihat deretan atap bangunan modern, namun begitu mata tertuju ke dataran rendah, hamparan padi yang menguning atau hijau muda mendominasi pemandangan. Para petani di sini, meskipun dikelilingi oleh denyut nadi pariwisata, tetap teguh pada siklus tanam dan panen mereka. Mereka seringkali harus beradaptasi, misalnya dengan membatasi penggunaan air yang kini harus berbagi dengan kebutuhan pembangunan, atau menyesuaikan jadwal tanam agar tidak terlalu mengganggu lingkungan permukiman yang semakin padat.
Peran subak tetap sentral. Meskipun sebagian lahan telah beralih fungsi, filosofi Tri Hita Karana—harmoni antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesama, dan manusia dengan alam—masih diterapkan. Subak di area seperti Kedampang Kerobokan menjadi forum penting untuk mendiskusikan pembagian air secara adil, sebuah tugas yang makin rumit seiring bertambahnya pembangunan yang haus akan sumber daya air.
Potensi Ekowisata dan Konservasi
Area Kedampang Kerobokan memiliki potensi besar untuk dikembangkan sebagai sarana edukasi ekowisata lokal. Alih-alih hanya menjadi lahan pertanian biasa, ia bisa menjadi destinasi di mana wisatawan dapat belajar tentang sistem pertanian tradisional Bali tanpa harus menempuh perjalanan jauh ke pelosok pedesaan. Pengalaman melihat petani membajak sawah dengan cara tradisional, atau sekadar menikmati ketenangan alam di antara kesibukan Kuta dan Canggu, menawarkan perspektif baru tentang Bali.
Konservasi lahan di Kedampang bukan hanya soal menjaga pemandangan; ini adalah tentang menjaga identitas budaya Bali. Jika lahan pertanian ini hilang sepenuhnya, bersamaan dengan itu, pengetahuan turun-temurun tentang pengelolaan air dan pertanian lestari berpotensi ikut terkikis. Upaya pemerintah daerah dan masyarakat untuk mempertahankan zona hijau di area ini sangat krusial. Setiap petak sawah yang tersisa di Kerobokan adalah pengingat berharga bahwa kemajuan tidak harus mengorbankan warisan alam dan mata pencaharian tradisional yang telah menopang pulau Dewata selama berabad-abad. Kedampang Kerobokan adalah narasi kontemporer tentang ketahanan budaya di tengah modernisasi yang tak terhindarkan.