Membedah Kebahagiaan Semu dalam Perspektif Islam

Ilustrasi Cermin Kebahagiaan Semu Sebuah cermin yang retak memantulkan bayangan kemewahan yang terdistorsi. Dunia Semu

Dalam menjalani kehidupan, manusia secara naluriah mendambakan kebahagiaan. Namun, definisi dan sumber kebahagiaan yang dikejar seringkali berbeda-beda. Islam mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati (sa'adah) hanya dapat ditemukan melalui ketaatan dan kedekatan dengan Allah SWT. Sebaliknya, banyak manusia terjerumus dalam pencarian yang berakhir pada **kebahagiaan semu**, yakni kesenangan sesaat yang berlandaskan materi, pujian dunia, atau hawa nafsu sesaat.

Definisi Kebahagiaan Semu dalam Pandangan Islam

Kebahagiaan semu, dalam konteks ajaran Islam, adalah kenikmatan yang dirasakan ketika seseorang terlalu fokus pada urusan dunia (dunya) tanpa mengaitkannya dengan nilai-nilai ukhrawi. Ia sifatnya sementara, rentan hilang, dan sering kali meninggalkan kekosongan batin setelah sensasi awalnya mereda.

"Perumpamaan kehidupan dunia ini hanyalah seperti hujan yang Kami turunkan dari langit, lalu tumbuhlah ia dengan subur tanam-tanaman bumi, kemudian tanam-tanaman itu menjadi kering lalu berpecah-pecah. Dan di akhirat ada azab yang keras dan ada pula ampunan serta keridhaan dari Allah. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu." (QS. Al-Hadid: 20)

Ayat di atas secara eksplisit menggambarkan sifat duniawi sebagai kesenangan yang menipu (mata' al-ghurur). Kesenangan yang menipu inilah yang sering kita sebut sebagai kebahagiaan semu. Ia tampak menggiurkan di permukaan, namun ketika disentuh, ia rapuh dan tidak memberikan kepuasan hakiki.

Wujud Nyata Kebahagiaan Semu

Ada beberapa bentuk umum dari kebahagiaan semu yang sering dikejar umat manusia, yang semuanya berakar pada ketergantungan pada sesuatu selain Allah:

  1. Kesenangan Materi dan Kemewahan: Hasrat tak berujung untuk mengumpulkan harta, membeli barang mewah, atau mencapai status sosial tinggi. Meskipun kekayaan membawa kenyamanan, menjadikannya tujuan utama hidup akan menjauhkan jiwa dari ketenangan sejati. Kekayaan yang tidak disalurkan pada jalan kebaikan akan menjadi beban di akhirat.
  2. Pujian dan Pengakuan Manusia: Mencari validasi diri melalui popularitas, sanjungan, atau pujian dari orang lain. Ketergantungan pada opini publik membuat harga diri menjadi sangat fluktuatif; hari ini dipuja, besok bisa dicaci. Hal ini bertentangan dengan konsep ikhlas (ketulusan) dalam Islam.
  3. Pengejaran Kenikmatan Duniawi (Hawa Nafsu): Terlena dalam kesenangan fisik atau kesenangan sesaat yang diharamkan atau dibatasi oleh syariat, seperti mabuk-mabukan, pergaulan bebas, atau gaya hidup hedonis. Kenikmatan ini memberikan euforia singkat namun diikuti oleh penyesalan, kecemasan, dan potensi konsekuensi dosa.

Mengapa Kebahagiaan Semu Itu Berbahaya?

Bahaya utama dari mengejar kebahagiaan semu adalah pengalihan fokus dari tujuan penciptaan manusia itu sendiri, yaitu beribadah kepada Allah dan mempersiapkan diri untuk kehidupan abadi (akhirat).

Ketika seseorang terlalu terikat pada hal-hal fana, hatinya menjadi keras dan mudah lupa akan kematian. Ia menjadi terjerat dalam lingkaran konsumsi dan pencapaian tanpa akhir, menciptakan rasa gelisah kronis meskipun secara lahiriah terlihat sukses.

Imam Al-Ghazali, seorang ulama besar, sering membahas bagaimana cinta berlebihan pada dunia (hubb ad-dunya) adalah akar dari banyak penyakit hati. Cinta dunia ini yang mendorong manusia mengejar kebahagiaan palsu, mengabaikan hakikat bahwa segala kenikmatan dunia hanyalah bayangan dari kenikmatan hakiki di sisi Allah.

Jalan Menuju Kebahagiaan Hakiki: Melawan Kesemuan

Untuk terlepas dari jerat kebahagiaan semu, seorang Muslim harus menggeser paradigma kebahagiaannya. Kebahagiaan sejati tidak ditemukan di luar, melainkan di dalam hati yang tunduk pada Rabb-nya.

Langkah pertama adalah introspeksi mendalam (muhasabah) untuk mengenali apa yang selama ini menjadi 'tuhan' baru dalam hidup kita—apakah harta, jabatan, atau popularitas. Kedua, mengamalkan rasa syukur (syukur) atas apa yang dimiliki, bukan berfokus pada apa yang kurang. Rasa syukur mengubah kenikmatan sederhana menjadi kebahagiaan yang abadi.

Ketiga, adalah orientasi akhirat. Dengan menyadari bahwa kehidupan dunia hanyalah persinggahan, segala kesulitan akan terasa ringan, dan segala kenikmatan duniawi tidak akan membuat kita sombong. Kebahagiaan hakiki diraih ketika hati merasakan kedamaian (sakinah) yang berasal dari ketaatan, meskipun dalam keadaan kekurangan duniawi. Inilah kebahagiaan yang tidak bisa direnggut oleh perubahan zaman atau nasib.