Dunia komunikasi sangat beragam, dan bagi komunitas Tuli di Indonesia, salah satu pilar utama interaksi sosial dan pendidikan adalah melalui bahasa isyarat. Di antara variasi yang ada, Sistem Isyarat Bahasa Indonesia, atau yang lebih dikenal sebagai Bahasa Isyarat Tangan SIBI, memegang peranan penting dalam upaya standarisasi komunikasi visual.
SIBI bukanlah bahasa alamiah, melainkan sebuah sistem isyarat yang dikembangkan secara terstruktur. Tujuan utama dari SIBI adalah menciptakan keseragaman dalam cara penyampaian informasi formal, terutama di lingkungan sekolah atau acara kenegaraan, sehingga memudahkan pembacaan dan pemahaman materi pelajaran atau pidato yang menggunakan bahasa Indonesia lisan. Sistem ini berusaha untuk memetakan struktur gramatikal Bahasa Indonesia ke dalam gerakan tangan, ekspresi wajah, dan isyarat tubuh.
Perbedaan mendasar antara SIBI dan bahasa isyarat alami seperti BISINDO (Bahasa Isyarat Indonesia) terletak pada asal usul dan penggunaannya. BISINDO adalah bahasa yang berkembang secara alami di kalangan komunitas Tuli, memiliki tata bahasa dan kosakata yang unik. Sebaliknya, Bahasa Isyarat Tangan SIBI diciptakan untuk melayani fungsi edukatif dan formal, seringkali dianggap sebagai transliterasi visual dari Bahasa Indonesia baku.
Sebagaimana bahasa isyarat lainnya, SIBI memanfaatkan lima parameter utama dalam membentuk setiap isyarat: bentuk tangan (handshape), gerakan (movement), letak atau tempat isyarat (location), orientasi telapak tangan (palm orientation), dan ekspresi non-manual (seperti ekspresi wajah dan gerakan kepala).
Penggunaan Bahasa Isyarat Tangan SIBI dalam konteks pendidikan pernah menjadi fokus utama kurikulum di sekolah-sekolah luar biasa (SLB). Dengan mengikuti struktur kalimat Bahasa Indonesia yang baku (Subjek-Predikat-Objek), SIBI memungkinkan penyampaian konsep yang lebih abstrak dan teknis yang mungkin sulit dijelaskan hanya dengan isyarat alami yang lebih kontekstual. Misalnya, penekanan pada konjungsi atau imbuhan sering kali direpresentasikan secara eksplisit dalam SIBI.
Meskipun SIBI diciptakan dengan niat baik untuk menyatukan komunikasi, implementasinya dalam komunitas Tuli seringkali menimbulkan perdebatan. Banyak anggota komunitas Tuli merasa bahwa SIBI terasa kaku dan tidak sepenuhnya mewakili cara mereka berkomunikasi secara otentik. Perkembangan SIBI kerap dianggap terlalu memaksakan struktur bahasa lisan ke dalam modalitas visual.
Akibatnya, terjadi pergeseran fokus dalam beberapa tahun terakhir. Meskipun SIBI masih digunakan di beberapa lingkungan formal dan pengajaran awal, BISINDO kini lebih diakui dan didorong sebagai bahasa utama komunitas Tuli Indonesia. Hal ini sejalan dengan gerakan global yang mendukung penggunaan bahasa isyarat alami sebagai hak linguistik kaum Tuli.
Namun, penting untuk dicatat bahwa memahami Bahasa Isyarat Tangan SIBI tetap relevan bagi mereka yang bekerja di bidang penerjemahan atau di lembaga pemerintahan yang mungkin masih mengadopsi sistem tersebut dalam dokumentasi resmi. Pengetahuan tentang SIBI memberikan pemahaman komprehensif tentang spektrum komunikasi visual di Indonesia.
Intinya, baik SIBI maupun BISINDO adalah alat komunikasi yang valid, masing-masing memiliki ranah penggunaannya sendiri. SIBI mewakili upaya sistematisasi yang terstruktur, sementara BISINDO mewakili kekayaan dan keaslian linguistik komunitas Tuli Indonesia yang sesungguhnya.