Visualisasi komunikasi non-verbal dalam konteks inklusif.
Islam sangat menjunjung tinggi pentingnya komunikasi yang efektif, jelas, dan santun. Rasulullah Muhammad SAW dikenal sebagai Al-Amin (orang yang terpercaya) sebagian besar karena kemampuan komunikasinya yang luar biasa. Meskipun komunikasi verbal (lisan) adalah bentuk utama, Islam tidak pernah mengabaikan bentuk komunikasi non-verbal, termasuk bahasa tubuh dan, secara spesifik, bahasa isyarat. Dalam perspektif Islam, tujuan utama komunikasi adalah menyampaikan kebenaran (al-haq), membangun persaudaraan (ukhuwah), dan menghindari fitnah atau kesalahpahaman.
Komunitas Tuli di seluruh dunia, termasuk di negara-negara mayoritas Muslim, memiliki hak yang sama untuk mengakses ajaran agama, ibadah, dan nasihat spiritual. Oleh karena itu, mengadopsi dan mengembangkan bahasa isyarat yang sesuai dengan konteks keislaman menjadi sebuah keniscayaan syariat. Prinsip bahwa "Tidak ada kesulitan bagi orang yang beriman" (QS. Al-Baqarah: 286) harus diterapkan secara praktis, memastikan bahwa penyandang disabilitas pendengaran dapat melaksanakan kewajiban agama mereka, seperti memahami khotbah Jumat, belajar Al-Qur'an, dan mendapatkan fatwa.
Ketika membahas Bahasa Isyarat Islam, fokus utamanya adalah pada adaptasi kosakata keagamaan ke dalam bahasa isyarat lokal yang sudah ada (misalnya, BISINDO di Indonesia atau ASL/BSL yang diadaptasi). Kosakata yang memerlukan perhatian khusus meliputi istilah-istilah kunci seperti 'Allah', 'Nabi', 'Shalat', 'Zakat', 'Haji', dan nama-nama surat Al-Qur'an.
Proses ini melibatkan para ahli bahasa isyarat, cendekiawan agama, dan anggota komunitas Tuli Muslim itu sendiri. Tujuannya bukan untuk menciptakan bahasa isyarat baru yang sepenuhnya terpisah, melainkan untuk memperkaya leksikon bahasa isyarat yang ada dengan padanan isyarat yang secara teologis akurat dan mudah dipahami. Misalnya, isyarat untuk 'Thaharah' (kesucian) harus mencerminkan konsepnya secara mendalam, bukan sekadar terjemahan literal.
Peran juru bahasa isyarat (interpreter) sangat krusial dalam mewujudkan inklusi ini. Mereka bertindak sebagai jembatan komunikasi vital antara komunitas mendengar dan komunitas Tuli dalam kegiatan-kegiatan ibadah formal maupun informal.
Para juru bahasa isyarat ini harus memiliki pemahaman ganda: kefasihan dalam bahasa isyarat dan pemahaman yang kuat mengenai terminologi fiqih dan akidah Islam. Tanpa integritas bahasa dan spiritualitas, komunikasi yang disampaikan bisa jadi menyesatkan.
Etika Islam menuntut kita untuk memperlakukan semua manusia dengan hormat dan kasih sayang. Terkait dengan komunitas Tuli, beberapa adab yang perlu dijaga meliputi:
Dengan mengintegrasikan bahasa isyarat ke dalam ranah keagamaan, umat Islam menunjukkan komitmen nyata terhadap nilai-nilai persaudaraan universal dan inklusivitas yang diajarkan dalam Al-Qur'an dan Sunnah. Hal ini bukan sekadar akomodasi sosial, melainkan pemenuhan tanggung jawab ukhuwah Islamiyah yang menyeluruh.