Memahami Kompleksitas Bahasa di Kepulauan Maluku

Benarkah Bahasa Ambon "Tidak" Ada?

Dalam diskursus linguistik dan percakapan sehari-hari, seringkali muncul pertanyaan atau pernyataan yang cenderung menyederhanakan realitas bahasa di Maluku. Salah satu asumsi yang sering terdengar adalah anggapan bahwa "Bahasa Ambon tidak" memiliki status atau bentuk baku yang tunggal. Pandangan ini, meskipun mungkin muncul dari niat baik untuk menggolongkan, seringkali gagal menangkap kekayaan dan dinamika sosio-linguistik yang terjadi di wilayah tersebut.

Ketika masyarakat awam mengatakan "Bahasa Ambon," yang mereka maksudkan hampir selalu adalah Melayu Ambon (atau dikenal juga sebagai Melayu Pasar Ambon), sebuah varietas bahasa Melayu yang telah berevolusi secara independen di Ambon dan sekitarnya selama berabad-abad. Ini bukan sekadar dialek Bahasa Indonesia yang terdistorsi atau "bahasa gaul." Melayu Ambon adalah sistem komunikasi yang lengkap, dengan tata bahasa, kosa kata, dan ciri fonologi yang khas, yang berfungsi sebagai lingua franca antaretnis selama masa kolonial dan pasca-kemerdekaan.

Jadi, jika yang dimaksud adalah keberadaan entitas linguistik yang unik dan mapan, maka Bahasa Ambon tidak bisa dikatakan "tidak ada." Sebaliknya, ia sangat ada dan vital dalam kehidupan sosial mayoritas penduduk Ambon.

Melayu Ambon: Bukan Sekadar Campuran Bahasa

Kesalahpahaman muncul karena Melayu Ambon seringkali diasosiasikan sebagai hasil pencampuran belaka—sebuah "keranjang" kosa kata dari Bahasa Indonesia, Bahasa Belanda, Portugis, dan berbagai bahasa lokal seperti Bahasa Lease atau Seram. Meskipun pengaruh bahasa-bahasa tersebut memang signifikan (terutama warisan kosa kata dari era VOC dan kontak dagang), proses pembentukan Melayu Ambon jauh lebih terstruktur.

Varietas Melayu ini mengalami proses kreolisasi dan stabilisasi yang menjadikannya sebuah bahasa dengan aturan internalnya sendiri. Struktur sintaksisnya, misalnya, memiliki pola yang berbeda dengan Bahasa Indonesia baku. Penggunaan partikel, penanda negasi, dan intonasi menciptakan sebuah identitas linguistik yang kuat. Menempatkannya hanya sebagai "campuran" mengabaikan evolusi historisnya sebagai jembatan komunikasi regional yang efektif.

Hal yang menarik adalah bagaimana bahasa ini terus beradaptasi. Seiring penetrasi Bahasa Indonesia sebagai bahasa pendidikan formal dan administrasi negara, Melayu Ambon menunjukkan fenomena yang disebut *code-switching* (campur kode) dan *diglossia*—di mana penutur menggunakan Melayu Ambon dalam konteks informal dan Bahasa Indonesia dalam konteks formal. Ini menunjukkan fleksibilitas, bukan ketidakmampuan.

Status dan Pengakuan Linguistik

Salah satu tantangan utama yang dihadapi Melayu Ambon adalah pengakuan resmi. Dalam konteks kenegaraan Indonesia, Bahasa Indonesia diakui sebagai bahasa nasional. Bahasa-bahasa daerah lain yang teridentifikasi jelas (seperti Bahasa Jawa atau Sunda) juga memiliki peta linguistik yang jelas. Namun, karena sifatnya yang merupakan ragam Melayu yang terpilah, Melayu Ambon seringkali kurang mendapat perhatian dalam peta bahasa resmi, menciptakan persepsi bahwa bahasa Ambon tidak memiliki kedudukan formal yang setara.

Perdebatan ini menjadi penting karena pengakuan adalah kunci pelestarian. Ketika sebuah bahasa tidak diakui secara formal, ia rentan terhadap erosi atau dianggap inferior oleh generasi muda yang lebih terekspos pada standar bahasa baku nasional. Para ahli bahasa sepakat bahwa Melayu Ambon adalah sebuah varietas bahasa yang layak dipelajari dan didokumentasikan secara mendalam, terlepas dari statusnya sebagai bahasa ibu bagi sebagian besar penduduk atau hanya sebagai bahasa pergaulan.

Kesimpulan Dinamis

Kesimpulannya, anggapan bahwa "Bahasa Ambon tidak" ada atau hanya sekadar bahasa yang tidak terstruktur adalah pandangan yang simplistis. Bahasa Ambon, atau Melayu Ambon, adalah manifestasi linguistik yang hidup, bernapas, dan berfungsi penuh di Maluku Tengah. Ia adalah bukti sejarah kontak budaya yang intensif dan kreativitas manusia dalam berkomunikasi. Meskipun statusnya dalam ranah akademik dan kebijakan bahasa masih memerlukan penguatan, bagi masyarakatnya, bahasa ini adalah identitas—sebuah narasi lisan yang kaya dan tak tergantikan.