Eksplorasi Mendalam Bahasa Aksara Sunda

Representasi visual dari beberapa karakter Aksara Sunda Aksara Sunda

Bahasa Aksara Sunda, atau sering juga disebut sebagai Hanacaraka versi Sunda, merupakan salah satu warisan budaya takbenda yang sangat kaya dari masyarakat Sunda di Jawa Barat, Indonesia. Berbeda dengan aksara Jawa yang memiliki kemiripan visual, aksara Sunda memiliki bentuk, kaidah penulisan, dan filosofi yang unik, mencerminkan kosmologi dan pandangan hidup masyarakat Sunda itu sendiri. Meskipun penggunaan sehari-hari telah banyak tergantikan oleh aksara Latin, pelestarian aksara ini menjadi tanggung jawab penting untuk menjaga identitas budaya.

Struktur Dasar dan Filosofi

Aksara Sunda kuno dan modern (Aksara Sunda Baku) dibangun di atas fondasi aksara Brahmi, seperti banyak aksara lain di Asia Tenggara. Sistem penulisan ini bersifat silabis, di mana setiap konsonan secara inheren membawa vokal bawaan /a/. Untuk mengubah vokal bawaan tersebut, digunakanlah berbagai tanda diakritik yang diletakkan di atas, di bawah, di kiri, atau di kanan aksara pokok. Keunikan utamanya terletak pada bentuk yang cenderung lebih bulat dan luwes dibandingkan dengan aksara Jawa yang terlihat lebih kaku dan geometris.

Secara tradisional, aksara ini terdiri dari 47 aksara dasar, yang terbagi menjadi beberapa kelompok: 14 aksara untuk konsonan dasar (mirip dengan 14 baris dalam aksara Jawa), 9 vokal (yang juga berfungsi sebagai konsonan pembuka), 12 tanda vokal (sandhangan swara), dan beberapa tanda lain seperti konsonan mati (pandésa) dan tanda baca. Penamaan hurufnya sering kali merujuk pada tradisi Hanacaraka yang memudahkan penghafalan, meskipun urutannya mungkin sedikit berbeda dari versi Jawa atau Bali.

Perbedaan Aksara Sunda Kuno dan Baku

Perkembangan aksara Sunda mengalami transformasi signifikan. Aksara Sunda Kuno (sering ditemukan pada naskah-naskah peninggalan Kerajaan Pajajaran) memiliki ciri khas yang lebih kasar dan penggunaan yang lebih luas untuk tujuan keagamaan atau pemerintahan. Setelah kemerdekaan dan seiring modernisasi, pemerintah daerah bersama para ahli melakukan standardisasi. Hasilnya adalah Aksara Sunda Baku (atau modern) yang ditetapkan pada tahun 1990-an.

Perbedaan paling mencolok ada pada bentuk visual dan simplifikasi. Aksara Baku berusaha menghilangkan ambiguitas dan menyesuaikannya dengan perkembangan bahasa Sunda modern, sehingga lebih mudah dipelajari dan diaplikasikan dalam teknologi digital. Misalnya, beberapa tanda diakritik yang rumit pada versi kuno disederhanakan atau diganti agar sesuai dengan prinsip penulisan yang lebih efisien. Meskipun demikian, kedua bentuk ini sama-sama berharga sebagai cerminan sejarah literasi Sunda.

Tantangan Pelestarian di Era Digital

Salah satu hambatan terbesar dalam revitalisasi bahasa aksara Sunda adalah minimnya dukungan font digital yang mudah diakses dan standar implementasinya. Untuk menulis menggunakan aksara ini, seseorang memerlukan font khusus dan sering kali perangkat lunak yang mendukung tata letak aksara non-Latin. Meskipun sudah ada upaya pembuatan keyboard dan font Unicode, integrasinya ke dalam sistem operasi umum masih memerlukan sosialisasi dan adopsi yang lebih luas dari masyarakat umum dan institusi pendidikan.

Pemerintah daerah dan komunitas pegiat bahasa terus berupaya mengintegrasikan aksara ini ke dalam kurikulum sekolah dasar dan menengah di Jawa Barat. Selain itu, media sosial dan platform digital kini menjadi medan baru untuk memperkenalkan keindahan visual aksara ini kepada generasi muda melalui seni kaligrafi digital dan desain grafis. Menguasai Aksara Sunda bukan hanya tentang membaca dan menulis, tetapi juga tentang menghormati jejak intelektual para leluhur yang merekam pengetahuan mereka melalui simbol-simbol indah ini. Aksara Sunda adalah jembatan antara masa lampau yang agung dan masa depan budaya yang dinamis.

Upaya pelestarian ini sangat krusial. Ketika sebuah masyarakat kehilangan aksaranya, mereka kehilangan salah satu cara utama untuk memahami narasi sejarah mereka secara otentik. Dengan memahami dan mempraktikkan penggunaan aksara Sunda, kita turut andil dalam menjaga keberagaman linguistik dan kekayaan kultural Nusantara.