Visualisasi aliran energi pada jalur kecepatan tinggi.
Kereta cepat, atau yang sering disebut High-Speed Rail (HSR), telah merevolusi cara kita bepergian jarak menengah hingga jauh. Kecepatan yang mampu menembus batas ratusan kilometer per jam menuntut sumber daya energi yang efisien, andal, dan mampu menyediakan daya dorong yang masif. Pertanyaan mendasar dalam infrastruktur ini adalah: Apa sebenarnya bahan bakar kereta cepat modern?
Secara historis, beberapa sistem kereta cepat awal, terutama di era perintis seperti TGV Prancis, sangat bergantung pada listrik yang disalurkan melalui kabel udara (catenary). Namun, seiring perkembangan teknologi dan fokus global terhadap mitigasi perubahan iklim, definisi "bahan bakar" untuk moda transportasi ini semakin meluas, mencakup sumber energi listrik itu sendiri dan sumber daya terbarukan yang menggerakkannya.
Saat ini, mayoritas jaringan kereta cepat di dunia, termasuk Shinkansen Jepang, ICE Jerman, dan CRH Tiongkok, beroperasi sepenuhnya menggunakan tenaga listrik. Listrik bukan bahan bakar dalam arti konvensional seperti diesel atau batu bara, melainkan vektor energi. Namun, untuk sistem HSR, listrik adalah 'bahan bakar' utama yang menentukan kinerja.
Keunggulan utama listrik adalah kemampuannya menyediakan tenaga instan dan konsisten untuk akselerasi cepat dan mempertahankan kecepatan tinggi. Dibandingkan mesin diesel, motor listrik jauh lebih efisien dalam mengubah energi yang disimpan menjadi daya gerak. Selain itu, sistem kereta listrik menawarkan nol emisi langsung di titik operasi, menjadikannya pilihan yang lebih bersih secara lokal.
Meskipun motornya menggunakan listrik, pembahasan mengenai keberlanjutan bahan bakar kereta cepat harus dilihat dari sumber listrik yang digunakan untuk mengisi jaringan listrik rel. Di masa lalu, mayoritas listrik dihasilkan dari pembangkit listrik tenaga batu bara atau gas alam. Inilah titik lemah dalam klaim keberlanjutan kereta cepat.
Oleh karena itu, tren terbaru menunjukkan pergeseran signifikan. Banyak operator kereta cepat kini secara aktif beralih menggunakan energi terbarukan. Kereta cepat yang ditenagai oleh energi surya (solar farm) atau energi angin menjadi semakin umum. Ini mengubah kereta cepat dari sekadar moda transportasi cepat menjadi pelopor transportasi hijau. Misalnya, beberapa jalur di Eropa telah berkomitmen untuk hanya menggunakan listrik yang bersertifikat berasal dari sumber angin atau hidro.
Industri perkeretaapian terus mencari alternatif jika elektrifikasi overhead line (OHL) tidak memungkinkan, terutama di jalur yang lebih tua atau area yang sulit dijangkau. Dua teknologi yang sedang hangat dibicarakan adalah sel bahan bakar hidrogen dan baterai berkapasitas tinggi.
Sel bahan bakar hidrogen mengubah hidrogen menjadi listrik melalui reaksi kimia, dengan produk sampingan utamanya hanyalah uap air. Beberapa prototipe kereta cepat bertenaga hidrogen telah diuji coba, menawarkan solusi tanpa emisi yang dapat beroperasi tanpa infrastruktur OHL yang mahal. Meskipun hidrogen masih mahal untuk diproduksi secara 'hijau' (menggunakan elektrolisis bertenaga terbarukan), potensinya sangat besar untuk masa depan.
Untuk kereta kecepatan menengah atau segmen jarak pendek dalam jaringan HSR, baterai lithium-ion atau teknologi solid-state sedang dikembangkan. Kereta ini dapat mengambil daya dari catenary di stasiun utama, kemudian 'berlayar' menggunakan baterai untuk menempuh jarak tertentu sebelum mengisi ulang. Ini meminimalkan kebutuhan tiang listrik di bentang jalan yang padat pemandangan.
Secara esensial, bahan bakar kereta cepat modern adalah listrik. Namun, nilai keberlanjutan kereta cepat sepenuhnya bergantung pada bagaimana listrik tersebut dihasilkan. Masa depan transportasi super cepat bukan hanya tentang seberapa cepat mereka dapat bergerak, tetapi seberapa hijau energi yang mereka gunakan untuk mencapainya. Transisi menuju sumber daya terbarukan dan eksplorasi hidrogen akan menentukan apakah kereta cepat dapat mempertahankan statusnya sebagai tulang punggung transportasi abad ke-21 yang ramah lingkungan.