Kebahagiaan adalah konsep universal yang dicari oleh setiap manusia, namun definisinya seringkali terasa subjektif dan sulit digenggam. Apa sebenarnya kebahagiaan itu? Apakah ia sekadar kesenangan sesaat atau kondisi keberlangsungan jiwa yang lebih dalam? Untuk menjawab pertanyaan ini, para ilmuwan, filsuf, dan psikolog telah mendedikasikan penelitian mendalam.
Ilustrasi Kebahagiaan dan Optimisme
Kebahagiaan dari Sudut Pandang Psikologi Positif
Psikologi positif, yang dipelopori oleh Martin Seligman, memandang kebahagiaan bukan hanya sebagai ketiadaan penderitaan, tetapi sebagai kondisi yang melibatkan kesejahteraan (well-being) yang otentik. Seligman memperkenalkan model PERMA sebagai kerangka kerja utama untuk mencapai kebahagiaan berkelanjutan.
P (Positive Emotion): Mengalami emosi positif seperti kegembiraan, rasa syukur, dan harapan.
E (Engagement): Terlibat sepenuhnya dalam aktivitas (flow), di mana waktu terasa berhenti.
R (Relationships): Memiliki hubungan interpersonal yang positif dan bermakna.
M (Meaning): Merasa menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar dari diri sendiri.
A (Accomplishment): Mencapai tujuan dan merasa kompeten.
Peran Kualitas Hubungan
Salah satu temuan paling konsisten dari penelitian tentang kebahagiaan adalah peran sentral hubungan sosial. Studi longitudinal Harvard tentang Perkembangan Dewasa, salah satu studi terpanjang di dunia mengenai kebahagiaan, secara tegas menyimpulkan bahwa hubungan yang baik membuat kita lebih bahagia dan lebih sehat. Dr. Robert Waldinger, direktur penelitian tersebut, menekankan bahwa bukan ketenaran atau kekayaan yang menjamin umur panjang dan kebahagiaan, melainkan kualitas hubungan dekat kita. Isolasi sosial terbukti sama merusaknya dengan merokok.
Hedonia vs. Eudaimonia
Para ahli sering membedakan dua jenis kebahagiaan: hedonia dan eudaimonia. Kebahagiaan hedonis berkaitan dengan kesenangan, kenyamanan, dan pemenuhan kebutuhan sensorik—seperti menikmati makanan lezat atau liburan mewah. Meskipun penting, efeknya cenderung singkat.
Sebaliknya, kebahagiaan eudaimonik, yang berakar pada filsafat Aristoteles, berfokus pada hidup yang bermakna, tujuan, dan aktualisasi diri. Ini melibatkan upaya, pertumbuhan pribadi, dan hidup sesuai dengan nilai-nilai intrinsik seseorang. Para peneliti umumnya sepakat bahwa kebahagiaan eudaimonik memberikan fondasi yang jauh lebih stabil dan mendalam bagi kesejahteraan jangka panjang.
Peran Rasa Syukur dan Mindfulness
Psikolog Dr. Sonja Lyubomirsky, seorang pakar dalam bidang ini, menggarisbawahi bahwa hanya sebagian kecil dari kebahagiaan kita yang ditentukan oleh genetika (sekitar 50%) dan kondisi eksternal (sekitar 10%). Sebagian besar (sekitar 40%) dikendalikan oleh aktivitas yang disengaja. Salah satu aktivitas paling efektif adalah mempraktikkan rasa syukur. Ketika kita secara aktif mendaftar dan merenungkan hal-hal yang patut disyukuri, kita melatih otak untuk fokus pada aspek positif kehidupan.
Selain rasa syukur, mindfulness (kesadaran penuh) juga berperan penting. Dengan hadir sepenuhnya pada momen saat ini, kita mengurangi kecenderungan pikiran untuk mengkhawatirkan masa depan atau menyesali masa lalu, yang seringkali menjadi sumber utama ketidakbahagiaan. Ahli saraf sering menyebut ini sebagai kemampuan untuk 'mengekstrak kebahagiaan dari saat ini'.
Kesimpulan Ahli
Secara kolektif, pandangan para ahli menunjukkan bahwa bahagia bukanlah tujuan yang dicapai, melainkan sebuah proses aktif yang dibangun setiap hari. Kebahagiaan sejati bersandar pada fondasi hubungan yang kuat, kehidupan yang memiliki tujuan (meaning), keterlibatan dalam aktivitas yang bermakna, dan latihan kesadaran serta rasa syukur secara konsisten. Ini adalah perpaduan antara menikmati kesenangan (hedonia) dan menjalani hidup yang selaras dengan nilai terdalam (eudaimonia).