Istilah "Bagong dadi dukun" merujuk pada sebuah pergeseran peran atau persepsi dalam masyarakat, di mana karakter atau figur yang secara tradisional dianggap sebagai penghibur, pelawak, atau figur oposisi—seperti Bagong dalam wayang—kini mengambil peran yang lebih serius, mistis, atau bahkan spiritual, layaknya seorang dukun atau paranormal. Fenomena ini menarik karena mencerminkan bagaimana budaya tradisional berinteraksi dengan dinamika sosial kontemporer.
Dalam konteks Jawa, Bagong dikenal sebagai salah satu punakawan (abdi dalem) yang lugu namun sering kali paling kritis dan blak-blakan. Ia adalah simbol rakyat jelata yang menyuarakan kebenaran dengan cara yang jenaka. Namun, ketika narasi beralih, muncul pandangan bahwa beberapa individu—mungkin melalui penampilan, cara berbicara, atau bahkan klaim kemampuan—mulai meniru atau diidentikkan dengan citra dukun, meskipun latar belakang mereka mungkin lebih dekat pada dunia seni pertunjukan atau humor.
Perubahan ini bukan sekadar pergantian kostum, melainkan refleksi dari kebutuhan masyarakat akan figur yang otentik namun juga memiliki "kekuatan" tertentu, baik kekuatan spiritual maupun kekuatan untuk menyampaikan pesan yang sulit diterima secara langsung.
Representasi visual pertemuan peran tradisional dan mistis.
Kecenderungan masyarakat modern untuk mencari jalan pintas atau solusi instan sering kali mendorong munculnya figur-figur spiritual baru. Dalam masyarakat yang terkadang kehilangan akar spiritualitas formal, figur seperti "Bagong dadi dukun" menawarkan kombinasi yang unik: mereka familiar (karena berasal dari budaya lokal yang dikenal luas) namun dianggap memiliki akses ke hal-hal gaib.
Pertama, faktor media sosial memainkan peran besar. Seorang individu yang menggunakan persona Bagong dengan sentuhan mistis bisa dengan cepat menjadi viral. Konten yang menggabungkan humor, kritik sosial ala Bagong, dan klaim kesaktian menciptakan daya tarik tersendiri yang sulit ditolak oleh audiens digital.
Kedua, ada rasa skeptisisme terhadap institusi formal. Ketika institusi agama atau layanan kesehatan formal terasa jauh atau tidak memberikan jawaban atas kegelisahan eksistensial, masyarakat cenderung kembali pada kearifan lokal yang disajikan dalam kemasan yang lebih atraktif dan mudah diakses. Figur ini sering kali dipandang lebih "manusiawi" daripada sosok spiritual yang kaku.
Namun, jalan yang dipilih oleh figur "Bagong dadi dukun" penuh dengan tantangan. Ketika batas antara komedi, seni pertunjukan, dan klaim spiritualitas menjadi kabur, risiko eksploitasi atau penipuan sangat tinggi. Di satu sisi, mereka mungkin hanya berakting untuk hiburan atau konten. Di sisi lain, jika publik mulai percaya pada kemampuan supranatural mereka, konsekuensinya bisa merugikan secara materiil maupun psikologis bagi pengikutnya.
Banyak pemerhati budaya tradisional khawatir bahwa penggambaran ini mereduksi nilai filosofis sejati dari punakawan. Bagong sejatinya adalah alat kritik sosial, bukan penyedia solusi magis. Mengubahnya menjadi dukun berisiko menghilangkan fungsi utamanya sebagai cermin bagi penguasa dan masyarakat.
Diperlukan adanya pemahaman yang kritis dari masyarakat. Apakah individu yang mengusung label ini benar-benar memiliki kapasitas spiritual yang mumpuni, ataukah mereka hanyalah penampil ulung yang memanfaatkan nostalgia budaya untuk popularitas sesaat? Jawabannya sering kali berada di antara kedua ekstrem tersebut, menuntut audiens untuk lebih cerdas dalam memilah antara hiburan dan keyakinan sejati.
Kisah "Bagong dadi dukun" adalah mikrokosmos dari bagaimana kearifan lokal terus berevolusi di abad ke-21. Tradisi tidak mati; ia bermutasi. Dalam konteks digital, figur-figur lama diberi peran baru yang sesuai dengan kebutuhan konsumsi informasi cepat dan emosional masyarakat modern. Selama ada permintaan, akan selalu ada individu yang bersedia mengisi peran tersebut, terlepas dari apakah peran itu murni artistik atau benar-benar spiritual.
Pada akhirnya, fenomena ini memaksa kita untuk merenungkan apa arti otentisitas dalam praktik spiritual dan hiburan. Apakah seorang seniman yang tampil sebagai dukun sama otentiknya dengan seorang dukun tradisional? Pertanyaan ini akan terus relevan selama interaksi antara budaya pop dan spiritualitas terus berlangsung di platform digital.