Mengenal Lebih Dekat B35 Biodiesel: Langkah Strategis Energi Hijau Indonesia

B35

Visualisasi transisi energi nabati menuju bahan bakar.

Pengembangan energi terbarukan merupakan salah satu pilar utama dalam strategi ketahanan energi nasional Indonesia. Dalam konteks ini, program Mandatori Pencampuran minyak sawit mentah (CPO) ke dalam bahan bakar minyak (BBM) jenis solar telah berevolusi signifikan. Inilah yang melahirkan istilah krusial seperti B35 biodiesel. Angka "35" merujuk pada konsentrasi 35% minyak nabati (Fatty Acid Methyl Ester/FAME) yang dicampurkan ke dalam solar. Implementasi B35 menandai peningkatan progresif dari standar sebelumnya, B30, dan merupakan tonggak penting menuju kemandirian energi berbasis sumber daya alam lokal.

Apa Itu B35 Biodiesel?

B35 adalah bahan bakar diesel yang terdiri dari 35% minyak nabati murni yang telah melalui proses transesterifikasi (menjadi FAME) dicampur dengan 65% solar standar. Pemilihan minyak nabati utama yang digunakan adalah minyak sawit mentah (CPO) karena ketersediaan pasokan yang melimpah di Indonesia, menjadikannya sumber daya strategis. Kebijakan ini tidak hanya didorong oleh upaya mengurangi ketergantungan pada impor bahan bakar fosil, tetapi juga untuk memberikan nilai tambah (hilirisasi) terhadap komoditas perkebunan sawit nasional.

Dampak Lingkungan dan Emisi Karbon

Salah satu keunggulan utama penggunaan B35 adalah kontribusinya terhadap mitigasi perubahan iklim. Biodiesel dianggap sebagai energi terbarukan karena sumbernya berasal dari tanaman yang menyerap CO2 selama pertumbuhannya. Ketika B35 dibakar, emisi gas rumah kaca yang dihasilkan secara signifikan lebih rendah dibandingkan solar murni. Meskipun masih ada perdebatan mengenai jejak karbon keseluruhan dari hulu ke hilir (termasuk deforestasi), pada titik konsumsi, B35 menawarkan solusi yang lebih bersih untuk mengurangi polusi udara di perkotaan dan membantu Indonesia memenuhi komitmen iklim globalnya. Penerapan B35 diharapkan mampu menurunkan emisi CO2 secara substansial dari sektor transportasi.

Tantangan Implementasi dan Aspek Teknis

Peralihan ke B35 tidak datang tanpa tantangan teknis. Peningkatan kandungan FAME dari 30% menjadi 35% memerlukan penyesuaian pada infrastruktur distribusi dan teknologi mesin. Salah satu perhatian utama adalah stabilitas bahan bakar, terutama dalam kondisi suhu rendah, di mana FAME cenderung lebih mudah mengkristal atau mengalami pengendapan (gelling). Oleh karena itu, Badan Standardisasi Nasional dan lembaga terkait terus melakukan pengujian ketat untuk memastikan bahwa B35 memenuhi standar kualitas (SNI) yang berlaku, sehingga aman digunakan pada berbagai jenis mesin diesel tanpa menimbulkan kerusakan signifikan pada sistem injeksi bahan bakar atau filter. Uji coba lapangan secara luas menjadi prasyarat mutlak sebelum peluncuran skala penuh.

Peran Ekonomi dan Ketahanan Energi

Secara ekonomi, program B35 memiliki dampak ganda. Pertama, ini menciptakan pasar domestik yang stabil dan besar bagi produk turunan kelapa sawit, yang secara tidak langsung menopang perekonomian petani sawit di seluruh Indonesia. Kedua, setiap liter B35 yang digunakan mengurangi volume solar impor yang harus dibeli oleh negara menggunakan devisa. Dalam situasi volatilitas harga minyak mentah global, substitusi impor ini menjadi instrumen vital dalam menjaga stabilitas neraca perdagangan dan ketahanan energi nasional. Keberhasilan implementasi B35 menunjukkan kapasitas Indonesia untuk mengolah sumber daya alamnya menjadi produk energi bernilai tambah tinggi.

Melihat tren global yang semakin mengarah pada dekarbonisasi, percepatan adopsi B35 hingga menuju B40 dan seterusnya bukan sekadar pilihan, melainkan sebuah keniscayaan. Program ini memperkuat posisi Indonesia sebagai salah satu pelopor pengembangan biodiesel berbasis sawit di dunia, sekaligus memastikan bahwa transisi energi dilakukan secara bertahap namun pasti, memanfaatkan potensi domestik yang dimiliki bangsa.