Istilah "Avatar 2 Marvel" mungkin terdengar kontradiktif bagi sebagian penggemar, karena secara teknis, film Avatar: The Way of Water (sekuel dari film James Cameron) tidak memiliki kaitan langsung dengan semesta sinematik Marvel (MCU). Namun, di era di mana persilangan IP (Intellectual Property) dan konsep pahlawan super mendominasi, wajar jika penggemar mencari benang merah, atau setidaknya, membandingkan dampak budaya dan teknologi yang dibawa oleh kedua waralaba raksasa ini. Artikel ini akan membahas bagaimana filosofi dan perkembangan teknologi di balik Avatar 2 bisa memberikan pelajaran menarik bagi masa depan narasi di dunia Marvel.
Ketika Avatar: The Way of Water dirilis, fokus utama kritik dan pujian tertuju pada pencapaian visualnya, terutama representasi dunia bawah laut Pandora. Teknologi yang dikembangkan untuk menangkap gerakan bawah air dan menciptakan tekstur cairan yang realistis adalah lompatan besar dalam sinema. Marvel Studios, yang telah memelopori penggunaan teknologi Virtual Production (seperti StageCraft yang terkenal dari The Mandalorian dan digunakan dalam proyek MCU terbaru), pasti mengamati perkembangan ini.
Marvel selalu berada di garis depan dalam menciptakan dunia yang imersif. Jika MCU ingin terus memukau penonton setelah fase-fase yang melibatkan kosmik dan multiversal, mereka harus terus mendorong batas realisme, seperti yang dilakukan oleh proyek Avatar 2. Bayangkan jika teknologi yang digunakan untuk menciptakan lautan Pandora diterapkan untuk menggambarkan dimensi baru atau planet asing dalam kisah Fantastic Four atau Guardians of the Galaxy.
Secara tematik, Avatar 2 sangat berpusat pada konsep keluarga, pengorbanan, dan konflik antara kemajuan teknologi yang merusak alam dengan kebutuhan untuk melindungi rumah. Ini adalah tema yang secara mengejutkan relevan dengan busur cerita banyak karakter di Marvel. Misalnya, kisah keluarga Spider-Man, atau perjuangan Thor dalam menemukan tempatnya setelah kehancuran Asgard.
Karakter-karakter Marvel yang berbasis Bumi, seperti Black Panther atau Shuri, sering kali harus menyeimbangkan tradisi dan teknologi maju—sebuah dilema yang sangat mirip dengan yang dihadapi oleh Jake Sully dan Na'vi ketika mereka harus beradaptasi dengan budaya laut Metkayina.
Meskipun tidak ada konvergensi resmi, persaingan antara waralaba seperti Avatar (di bawah naungan Disney, sama seperti Marvel) dan proyek-proyek blockbuster lainnya sangat memengaruhi ekspektasi penonton. Penonton kini mengharapkan standar kualitas visual yang sangat tinggi untuk setiap film besar.
Jika satu studio menetapkan standar baru untuk kedalaman narasi karakter di tengah latar belakang fantasi (seperti yang dilakukan Avatar 2 dengan fokus pada anak-anak Sully), studio lain, termasuk Marvel, merasa terdorong untuk tidak hanya menghadirkan aksi, tetapi juga kedalaman emosional yang setara. Marvel harus memastikan bahwa meskipun mereka seringkali berkutat pada mitologi yang sudah ada, mereka tetap memberikan kejutan visual yang setara dengan inovasi visual di dunia fantasi seperti Pandora.
Meskipun kolaborasi langsung antara Na'vi dan Avengers hampir pasti tidak akan terjadi, kita bisa melihat bagaimana pendekatan "world-building" yang mendalam ala Avatar dapat menginspirasi Marvel. Proyek MCU di masa depan mungkin akan lebih fokus pada detail ekologi dunia asing atau pengembangan budaya minoritas alien yang lebih kaya, daripada sekadar menggunakan latar belakang kosmik sebagai kanvas kosong untuk pertempuran.
Pada akhirnya, diskusi mengenai "Avatar 2 Marvel" adalah cerminan dari keinginan audiens modern untuk melihat sinema blockbuster mencapai batas tertinggi baik dalam penceritaan emosional maupun pencapaian teknologi. Kedua waralaba, meskipun berbeda genre, bersaing untuk mendapatkan perhatian penonton dengan janji pengalaman sinematik yang tak terlupakan.
Kesuksesan fenomenal dari sekuel Avatar menunjukkan bahwa penonton masih mendambakan cerita orisinal yang didukung oleh teknologi terdepan. Marvel, dengan basis karakternya yang luas, harus terus berinovasi agar tetap relevan di mata penonton yang kini telah terpapar standar visual tinggi yang ditetapkan oleh karya-karya sinematik ambisius lainnya.