Dalam Al-Qur'an, Allah SWT telah menetapkan banyak sekali aturan dan batasan yang membentuk kerangka hidup umat Islam. Salah satu aspek penting yang diatur adalah mengenai waktu, khususnya dalam konteks ritual keagamaan dan hukum syariat. Pembahasan mengenai ketetapan waktu ini termaktub jelas dalam Surat At-Taubah ayat 36, sebuah ayat yang seringkali menjadi rujukan utama dalam menentukan jumlah bulan dalam satu tahun Hijriah.
Ayat ini sangat fundamental karena menegaskan bahwa sistem penanggalan yang diakui secara ilahiah adalah berdasarkan peredaran bulan (komariyah), bukan matahari. Ayat attaubah ayat 36 ini tidak hanya berbicara tentang jumlah bulan, tetapi juga menegaskan keagungan ciptaan Allah SWT dan implikasinya terhadap ketetapan ibadah dan muamalah.
Ayat ini menegaskan bahwa dalam pandangan Allah, jumlah bulan dalam setahun adalah dua belas. Penetapan ini memiliki konsekuensi besar, terutama berkaitan dengan pelaksanaan ibadah haji dan umrah yang waktunya sangat spesifik dalam kalender Hijriah.
Teks asli ayat tersebut adalah sebagai berikut:
Terjemahannya:
"Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah, pada hari Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketentuan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam (bulan yang empat) itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa." (QS. At-Taubah: 36)
Pernyataan bahwa jumlah bulan adalah dua belas ditegaskan Allah sejak penciptaan langit dan bumi. Ini menunjukkan bahwa penetapan kalender Hijriah bukanlah kebetulan atau kesepakatan manusia, melainkan bagian dari ketetapan universal yang telah digariskan oleh Sang Pencipta. Dalam Islam, dua belas bulan ini adalah dasar dari seluruh sistem waktu ibadah, seperti penentuan hari Arafah, Idul Adha, awal Ramadan, dan bulan-bulan di mana ibadah haji dilaksanakan.
Selain menetapkan jumlah total bulan, attaubah ayat 36 juga secara spesifik menyoroti empat bulan yang disebut sebagai bulan haram (suci). Keempat bulan ini adalah Dzulqa'dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab. Status bulan haram ini memberikan perlindungan khusus bagi siapa pun yang berada di dalamnya; pelanggaran (seperti peperangan) di bulan-bulan ini dilarang keras, karena hal tersebut dianggap sebagai kezaliman yang lebih besar terhadap diri sendiri.
Ayat tersebut secara tegas melarang perbuatan aniaya (dhalim) terhadap diri sendiri di keempat bulan tersebut. Para ulama menafsirkan larangan ini mencakup larangan melakukan maksiat secara umum, karena pahala dosa akan berlipat ganda di bulan haram, sebagaimana pahala kebaikan juga dilipatgandakan.
Ayat 36 Surat At-Taubah turun dalam konteks peperangan antara umat Islam dan kaum musyrikin. Setelah menetapkan dasar waktu, ayat ini memberikan pedoman mengenai peperangan. Meskipun ada larangan berbuat aniaya pada bulan haram, ayat ini juga memberikan dispensasi bagi umat Islam untuk berperang habis-habisan terhadap kaum musyrikin yang telah melanggar perjanjian dan menyerang tanpa pandang bulu, sebagaimana mereka menyerang kaum Muslimin.
Namun, penting untuk dicatat bahwa dispensasi ini harus dipahami dalam kerangka hukum perang yang adil. Perintah untuk berperang secara total ini berlaku sebagai respons terhadap agresi pihak musuh, sambil tetap menjunjung tinggi prinsip keadilan dan batasan yang ditetapkan oleh syariat.
Ayat attaubah ayat 36 diakhiri dengan penegasan penting: "Dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa." Ini adalah penutup yang menghubungkan semua ketentuan di atas—ketetapan jumlah bulan, status bulan haram, hingga hukum berperang—dengan konsep sentral dalam Islam: ketakwaan (taqwa).
Keutamaan mengikuti ketetapan Allah, baik dalam sistem kalender maupun dalam etika sosial dan militer, adalah jalan untuk meraih pertolongan dan kedekatan ilahi. Orang yang bertakwa adalah mereka yang patuh pada hukum yang lurus (dinul qayyim), yaitu Islam, dan tidak menzalimi diri sendiri, terutama di waktu-waktu yang dimuliakan Allah.
Pemahaman mendalam terhadap attaubah ayat 36 mengajarkan bahwa waktu adalah ciptaan Allah yang harus dihormati dan digunakan sesuai pedoman-Nya. Baik dalam ibadah yang terikat waktu (seperti salat dan puasa) maupun dalam hukum sosial, ketaatan pada ketetapan ilahi adalah fondasi utama bagi tegaknya keadilan dan rahmat.