Ilustrasi Simbol Kedermawanan
Surat At Taubah (atau At-Tawbah), yang merupakan surat ke-9 dalam Al-Qur'an, memiliki posisi yang unik dan penuh dengan penekanan penting mengenai prinsip-prinsip dasar Islam, terutama dalam konteks hubungan sosial dan ekonomi umat. Salah satu tema sentral yang diulang dan diperjelas dalam surat ini adalah tentang Zakat. Zakat bukan sekadar sedekah biasa, melainkan sebuah pilar ibadah yang memiliki implikasi spiritual, sosial, dan hukum yang mendalam.
Dalam konteks turunnya Surah At Taubah, banyak ayat yang berkaitan dengan penguatan komunitas Muslim pasca-penaklukan Mekkah dan menghadapi tantangan dari pihak-pihak yang ragu-ragu. Di tengah persiapan untuk memperkuat fondasi negara Islam yang baru, Allah SWT menegaskan kembali kewajiban menunaikan zakat. Ayat-ayat dalam surat ini secara eksplisit memerintahkan Nabi Muhammad SAW dan umatnya untuk mengambil zakat dari harta orang-orang yang mampu.
Penekanan ini menunjukkan bahwa ketaatan terhadap perintah Allah tidak hanya terbatas pada ritual ibadah vertikal (shalat), tetapi juga ibadah horizontal yang mengatur distribusi kekayaan. Zakat berfungsi sebagai mekanisme korektif alami terhadap penumpukan harta di kalangan tertentu, memastikan bahwa kekayaan mengalir ke sektor yang membutuhkan, sehingga tercipta keseimbangan sosial yang adil.
Surat At Taubah, khususnya ayat 60, memberikan batasan yang sangat jelas mengenai siapa saja yang berhak menerima zakat. Ayat tersebut mencantumkan delapan kategori penerima (mustahiq), yang secara garis besar meliputi:
Pembagian ini menunjukkan bahwa zakat memiliki tujuan yang sangat luas: bukan hanya membantu fakir miskin, tetapi juga memperkuat dakwah (muallaf dan fi sabilillah) serta membebaskan belenggu penindasan (riqab). Ketika perintah zakat dibahas dalam At Taubah, ia diletakkan dalam kerangka perjuangan dan konsolidasi umat, menegaskan bahwa kekuatan finansial internal adalah bagian integral dari kekuatan dakwah.
Salah satu aspek paling kuat dari pembahasan zakat dalam At Taubah adalah peringatan keras bagi mereka yang menahan hartanya dan enggan menunaikan kewajiban ini. Meskipun ayat-ayat spesifik mengenai hukuman duniawi di surat ini lebih berfokus pada kemunafikan dan pengkhianatan dalam peperangan, konteks spiritual yang melingkupi perintah zakat menyiratkan konsekuensi serius di akhirat.
Penunaian zakat adalah bukti keimanan yang sesungguhnya. Ketika seseorang mengaku beriman tetapi kikir terhadap hak orang lain yang tertanam dalam hartanya, imannya dipertanyakan. Harta yang ditimbun tanpa dikeluarkan zakatnya dikhawatirkan akan menjadi beban dan bukti pengingkaran terhadap perintah Ilahi. Oleh karena itu, At Taubah menuntut kejernihan niat dan kepatuhan total, termasuk dalam urusan harta benda.
Penting untuk membedakan zakat dari pajak modern. Zakat adalah ibadah yang ketentuannya telah ditetapkan secara rinci oleh syariat, termasuk nisab (batas minimal harta yang wajib dizakati) dan haul (masa kepemilikan satu tahun hijriah). Ini bukan pungutan sepihak oleh penguasa, melainkan hak yang melekat pada harta orang kaya yang ditujukan kepada delapan golongan penerima yang telah ditentukan.
Ketika kita merujuk pada At Taubah zakat, kita merujuk pada kewajiban yang murni didasarkan pada ketetapan Ilahi. Implementasinya yang benar akan menghasilkan keberkahan dalam harta dan ketenangan dalam jiwa masyarakat. Keberlangsungan masyarakat Muslim yang sehat bergantung pada kesadaran kolektif untuk membersihkan harta melalui zakat, sehingga tercipta siklus ekonomi yang berputar atas dasar keadilan dan kepedulian. Dengan demikian, At Taubah mengajarkan bahwa kepemimpinan dan keimanan sejati diukur dari bagaimana mereka mengelola sumber daya finansial untuk kemaslahatan umum.