Ilustrasi visual mengenai perbedaan antara orang yang beriman dan mereka yang mencari alasan.
Surah At Taubah, atau Surat Bara'ah, adalah surah Madaniyah yang turun setelah hijrah Rasulullah SAW dan berisi banyak pelajaran penting mengenai hubungan sosial, peperangan, dan akidah. Ayat 90 hingga 100 secara spesifik membahas tentang golongan-golongan manusia yang mencari berbagai alasan untuk menghindari kewajiban (terutama berjihad atau berinfak) dan bagaimana Allah membedakan antara mereka yang tulus dalam keimanannya dengan mereka yang hanya mencari pembenaran duniawi.
Bagian ini merupakan penekanan kuat bahwa keimanan sejati tercermin dalam tindakan nyata, bukan sekadar pengakuan lisan. Ayat-ayat ini memberikan batasan yang jelas antara iman yang kokoh dan kemunafikan yang tersembunyi di balik alasan-alasan duniawi.
Allah SWT berfirman dalam ayat-ayat awal segmen ini:
"Dan di antara orang-orang Arab Badui itu (ada pula) yang menganggap apa yang dinafkahkannya (di jalan Allah) sebagai suatu kerugian, dan mereka menunggu-nunggu bencana atasmu, semoga bencana itu menimpa kamu. (Padahal) merekalah yang akan tertimpa bencana itu. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui."
Ayat 90 menyoroti sekelompok Arab Badui yang tindakannya didasari oleh perhitungan untung-rugi materi. Mereka melihat sedekah atau infak di jalan Allah sebagai beban (مَغْرَمًا - maghraman), bukan sebagai ibadah yang mendatangkan pahala. Lebih parah lagi, mereka menantikan kehancuran kaum Muslimin. Allah menegaskan bahwa siklus kehancuran (ad-da'a'ir) yang mereka harapkan akan kembali menimpa diri mereka sendiri.
Ayat 92 melanjutkan tentang golongan yang meminta izin untuk tidak ikut berperang dengan alasan:
"Tidak ada halangan bagi orang-orang yang lemah, orang-orang yang sakit dan orang-orang yang tidak mempunyai apa yang akan dinafkahkan (untuk berperang), apabila mereka ikhlas kepada Allah dan Rasul-Nya. Tidak ada jalan untuk menyalahkan orang-orang yang berbuat baik, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
Ayat 91 memberikan keringanan bagi mereka yang benar-benar tidak mampu (lemah, sakit, atau tidak memiliki bekal). Syaratnya adalah ketulusan hati (صَدَقُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ - shadaqu Allah wa Rasulahu). Ini adalah pelajaran penting: keringanan diberikan berdasarkan keterbatasan fisik dan kejujuran niat, bukan karena kemalasan atau ketakutan duniawi.
Bagian selanjutnya berfokus pada mereka yang berbohong untuk menghindari kewajiban:
"Sesungguhnya jalan (untuk menyalahkan) hanyalah terhadap orang-orang yang meminta izin kepadamu, padahal mereka orang-orang yang mampu. Mereka rela berada (tinggal) bersama orang-orang yang ditinggalkan (pergi berperang), dan Allah telah mengunci mati hati mereka, sehingga mereka tidak mengetahui (akibat perbuatannya)."
Ayat 95 sangat tegas. Jalan untuk dicela dan disalahkan adalah bagi mereka yang sehat dan mampu, namun memilih untuk tinggal di belakang bersama orang-orang yang ditinggalkan (wanita, anak-anak, atau orang uzur) karena kenyamanan duniawi. Konsekuensinya berat: Allah menutup hati mereka (طَبَعَ اللَّهُ عَلَىٰ قُلُوبِهِمْ), membuat mereka buta terhadap kebenaran dan kerugian besar yang mereka alami.
Ayat-ayat penutup segmen ini (96-100) menegaskan kembali bagaimana seharusnya hubungan seorang Mukmin dengan Allah, Rasul-Nya, dan harta benda:
Ayat 96-97 menekankan bahwa harta dan kehidupan duniawi hanyalah alat untuk menguji keikhlasan:
"Mereka akan bersumpah dengan nama Allah kepadamu apabila kamu kembali kepada mereka, agar kamu berpaling dari mereka. Maka, berpalinglah dari mereka, sesungguhnya mereka itu najis dan tempat mereka adalah Jahannam, sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan."
Bagi orang-orang munafik yang terus-menerus mencari pembenaran dan bersumpah palsu, ketegasan Allah adalah agar kaum Mukmin tidak lagi terpedaya oleh sumpah mereka dan harus menjaga jarak, karena mereka dianggap kotor (najis) secara spiritual, dan tempat mereka adalah neraka.
Sementara itu, ayat 100 memuji kelompok Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik (Tābi'īn):
"Dan orang-orang yang terdahulu yang pertama (masuk Islam) di antara golongan Muhajirin dan Ansar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya, dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar."
Ayat ini menutup segmen dengan kontras yang jelas. Sementara kaum munafik dan pengecut menghadapi siksa neraka, mereka yang berkorban, tulus, dan mengikuti jejak para Sahabat dengan ihsan (kebaikan sempurna) dijanjikan keridhaan Allah dan surga abadi. Kemenangan sejati (Al-Fawz Al-'Azhim) adalah mencapai ridha dan surga-Nya, bukan menghindari kesulitan duniawi.